Chapter 3

80 18 8
                                    




[Sweet Little Pills]

"Those kind of mental illness would ruin your friendship, popularity, and dreams easily. That's why many of them decided to keep it alone, keep it as a secret."

***

Banyak hal yang mengganggu Theo pagi ini, bagaimana tidak, satu sekolah mungkin akan menatapnya aneh—setelah apa yang terjadi di kantin kemarin. Ia bahkan sudah mendapatkan pesan singkat dari Ms. Clark perihal insinden itu, beliau menawarkan konsultasi agar Theo lebih bisa menahan emosi untuk tidak berteriak pada teman sendiri—padahal bagi Theo masalahnya bukan hanya sekadar menahan emosi.

Theo merebahkan tubuhnya kembali ke atas ranjang, menghirup dalam-dalam aroma Eucalyptus dari pengharum ruangan yang ia letakkan di dekat AC. Handuk yang masih melilit di pinggang juga tubuh yang masih setengah basah, terlebih pada bagian rambut, tidak membuat Theo urung untuk memanjakan kembali tubuhnya ke atas benda empuk di sana.

"Ini sudah pukul delapan pagi, Honey. Cepatlah turun sebelum sarapanmu menjadi dingin!"

Bisa ia dengar sang bunda mengetuk pintu dan bersuara dari arah luar. Theo mengehela napas, merenggangkan tubuhnya sejenak sebelum duduk dan mengenakan seragam yang telah ia siapkan di ujung ranjang.

Sungguh, tidak ada sedikit pun rasa lapar yang membuat perutnya keroncongan, nafsu makan paginya hilang begitu saja terlebih saat mengetahui bahwa ayahnya lagi-lagi mengabaikan sarapan, melewatkan waktu kumpul keluarga pagi yang begitu Theo rindukan.

"Apa ada jadwal latihan baseball hari ini, Sayang?"

Theo yang baru saja mendudukkan diri itu langsung disambut hangatnya senyuman He Kyo, disertai kecupan hangat di pipi kanannya. Theo menggeleng sebagai jawaban, meraih segelas susu hangat dan meneguknya hingga setengah, menyisahkan ruang di dalam lambung untuk seporsi bacon dan egg roll di hadapannya.

Walaupun Theo terdaftar resmi sebagai warga negara Australia, tetap saja budaya sarapan hingga kenyang begitu akrab dengannya. Bagaimana tidak, He Kyo yang berdarah asli Korea Selatan jelas membawa kebiasaan Asia ke rumah ini, mulai dari hidangan, sopan santun hingga kebersihan.

"Ayah melewatkan sarapan lagi?" tanya Theo basa-basi.

He Kyo terdiam sejenak, seperti ragu untuk menjawab pertanyaan sang putra semata wayangnya yang satu ini.

"Y-ya. Kau tidak perlu khawatir, Bunda sudah membekalinya seperti biasa."   

Theo mengangguk paham, lalu menyeka sudut bibirnya dengan selembar tisu, tanda bahwa ia menyudahi santap paginya kali ini.

"Esok jika Ayah ingin melewati jam sarapan kembali, bisa Bunda bangunkan Theo lebih pagi?" pinta Theo sebelum pamit untuk pergi.

"Memangnya ada apa, Sayang?"

Si tampan yang sudah rapi dengan seragam, rompi dan tas ranselnya hanya tersenyum kecil.

"Theo hanya rindu Ayah."

***

"Sungguh aku tidak ada niatan apapun, Theo. I'm not a faggot, I swear!"

Nyatanya, apa yang Theo takutkan pagi ini tidaklah terjadi, tidak ada satu pun yang menatapnya aneh atau penuh tanya, bahkan ia tetap menerima senyum dan sapaan hangat seperti yang sudah-sudah. Satu sekolah justru menyalahkan aksi Jimmi yang memang sudah keterlaluan. Theo bernapas lega, setidaknya tidak ada satu pun yang merasa janggal dengan tingkah penuh emosinya kemarin.

Jimmi masih memohon memelas, menggoyang-goyangkan lengan Theo yang sedari tadi justru sibuk dengan ponsel dan abai dengan kehadirannya. Sebenarnya si tampan tidak marah pada Jimmi, dia bahkan paham bahwa di sini posisi Jimmi adalah terpaksa akibat dare dari teman satu klub penyiarnya.

ALPAS - LAILA ARMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang