Chapter 18

54 10 10
                                        

[Nightmare]

"Aku lelah menjadi pecundang yang selalu diganggu kecemasan, aku hanya ingin hidup normal seperti remaja lain yang hanya disibukkan dengan tugas dan impian. Kalau bisa, aku ingin mengulang hari dan memastikan semua tidak pernah terjadi."

***

"Theo, apa berita malam tadi benar?"

Theo yang berjalan di koridor mempercepat langkahnya saat Jayhope—atau yang lebih akrab disapa Jay—tiba-tiba saja menepuk bahu dan bertanya yang tidak-tidak ke arahnya. Ketua Tim Jurnalistik itu bahkan tak segan untuk mendesak Theo agar pemuda itu memberikan keterangan lebih lanjut mengenai berita yang lagi-lagi mampu menghebohkan seantero ACME. Mereka bahkan tidak seakrab itu untuk saling mendesak.

Theo mengeratkan rematannya pada tali ransel dan mempercepat langkah, dadanya bergemuruh dan rasa-rasanya ia panik setengah mati. Tidak seharusya ia pergi ke sekolah pagi ini, sebagian dari dirinya bahkan sudah memperingatkan untuk tidak menunjukkan batang hidung selama beberapa hari, namun langkah kaki justru membawanya kembali ke gedung ini.

Kakinya terus melangkah seolah tanpa sadar.

Hanya ada satu hal bisa ia lakukan saat ini, tetap bersikap setenang mungkin.

"Theo, kau mengetahui sesuatu bukan?"

Theo berhenti tepat di depan lokernya, segera mengambil beberapa buku di sana yang mungkin berguna selama kelas sejarah pagi ini. Masih Mengabaikan Jay yang memberondongnya dengan banyak pertanyaan, Theo segera menutup loker dan kembali berjalan ke arah kelas.

"Mengakulah sebelum seantero sekolah lebih menyudutkanmu!" Jay berbisik tepat di telinga Theo, masih berbaik hati untuk tidak mengatakannya keras-keras—mengantisipasi yang lain untuk mendengar percakapan mereka.

Beberapa kali bahunya menabrak siswa yang berjalan dari arah berlawanan, ia mulai kehilangan fokus, matanya gelisah menelusuri seisi koridor yang telah ramai—dipenuhi oleh mereka yang akan bersiap memasuki kelas pagi masing-masing. Bahkan, Theo melewati ruang kelas sejarah yang berada di lantai satu. Ia hanya terus berjalan lurus tanpa arah, masih dengan mengabaikan Jay sepenuhnya.

Julian. Ia harus menemukan pemuda itu sesegera mungkin. Harus.

"Mau ke mana kau? Bertemu dengan Julian? Ingin mencari perlindungan? Ia bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri!" Jay menahan bahunya, menarik dan membalikkan tubuhnya dengan paksa. Pemuda itu bahkan membuat Theo harus merelakan punggungnya menghantam deretan loker di belakang hingga menciptakan debuman cukup keras.

Nyeri di punggung akibat benturan kasar yang mampu membuat atensi sekeliling tertuju pada mereka, jelas bukan apa-apa untuk Theo. Namun pemuda itu dapat merasakan napasnya terengah—bukan karena merasa sakit, lebih ke arah panik. Theo mulai mengangkat pandangan, mendapati Jay yang menatapnya penuh selidik, ia bahkan merasakan kakinya tidak menapaki lantai saat Jay mulai meremas bagian kerah seragam dan mengangkatnya ke atas.

Di antara seluru siswa ACME, megapa justru Jay yang menghajarnya?

"Katakan yang sejujurnya atau kau akan habis hari ini!"

Theo hanya bisa diam dengan napas yang terbata-bata, sekeliling yang tadinya tidak peduli dengan interaksi antara dirinya dengan Jay pun mulai menaruh atensi, semua yang ada di sana saling berbisik, menatap Theo tajam dan penuh selidik. Seolah mereka memintanya untuk mengakui sesuatu.

Ya, mereka ingin Theo mengakui sesuatu.

Theo memejamkan matanya, kilas balik itu tiba-tiba menyerangnya dan membuat sekujur tubuhnya seolah mati rasa, sebuah batu besar seakan menghantam kepalanya hingga pening rasa-rasanya dapat menghilangkan kesadarannya saat ini juga. Theo menggeleng, napasnya semakin sesak sejalan dengan remasan Jay di kerah yang kian mengerat.

ALPAS - LAILA ARMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang