Chapter 2

163 24 18
                                    

[Unswerable Question]

"Mata terindah, justru yang paling banyak menangis. Senyum termanis, justru yang paling banyak menyimpan tragis. Hati terbaik, justru yang paling banyak menerima pahit. Pribadi teramah, justru yang paling banyak merasa sendiri. Kita tidak pernah tahu apa saja yang telah mereka lewati sejauh ini."

***

Iris tidak pernah mengira bahwa menempuh pendidikan di kota yang terkenal akan intensitas cahaya matahari hangat, yang cukup diminanti warga dunia, bisa semenyenangkan ini. Walaupun sekarang terhitung hampir satu bulan musim dingin berlangsung, namun tetap saja kehangatan Perth masih bisa ia rasakan begitu jelas.

Si kaku yang telah menetap di daerah Crawley hampir dua tahun itu masih dalam proses adaptasi suasana dan kebudayaan baru. Iris cukup senang dengan rutinitasnya berjalan menuju halte bus terdekat setiap jam delapan pagi, kemudian duduk menanti bus sekolah kota yang akan tiba sepuluh menit kemudian.

Walaupun berjarak hampir lima kilometer dari pusat Kota Perth, tetap saja Crawley terasa begitu istimewa bagi Iris yang penyuka kesunyian—terlebih letaknya yang dekat dengan Teluk Matilda. Ada banyak hal yang berbeda di sini jika dibandingkan dengan negara asalnya, Indonesia. Khusunya untuk masalah pendidikan.

"Hurry up, Honey!"

Iris tersadar dari lamunan saat pengemudi bus mulai menegurnya di halte, terlalu asik memikirkan ini-itu membuatnya tidak sadar jika bus oranye milik kota sudah tiba beberapa saat yang lalu. Ia segera menggeserkan smart card-nya sebelum yang lain melayangkan protes, karena ia yang terlalu lama.

Mengabaikan seisi bus yang didominasi pelajar—sedang menatap ke arahnya dengan berbagai macam ekspresi—Iris segera mendudukkan diri pada salah satu bangku kosong dekat jendela dan menarik napas dalam-dalam. Sungguh, berada dan menjadi perhatian di keramaian bukanlah hal yang ia suka.

Iris memasang airpods dan membuka playlist di ponsel, setidaknya dengan bantuan musik sepuluh menitnya menuju sekolah akan lebih menenangkan. Namun sebuah pesan dari sang ayah membuat rencana Iris tertunda sejenak.

From : Papa

Message : Kami mungkin akan tiba di rumah jam lima sore, Ibumu memutuskan untuk membawa Jacob ke Kings Park.

Ia yang tak banyak bicara itu mengulum senyum, merasakan perbedaan yang begitu kentara antara dirinya dan sang adik, Jacob, yang baru menginjak usia sepuluh tahun. Jujur Iris tidak membenci keberadaan Jacob sama sekali. Bahkan anak lelaki yang setiap hari berusaha menerobos masuk ke dalam kamarnya—untuk meminta bantuan mengerjakan tugas sekolah—itu selalu berhasil membawa warna dalam hari-harinya.

Iris menyayangi Jacob, sangat menyayanginya.

Hanya saja Iris tidak pernah bisa memahami mengapa ia diperlakukan begitu berbeda, terlebih oleh sang ibu. Jika Jacob selalu ditatap penuh kasih, maka Iris tidak pernah untuk sekadar mendapat pelukan hangat sebelum pergi sekolah. Tapi sejauh ini yang bisa ia lakukan hanya bungkam, ia cukup berterima kasih karena sampai sekarang orangtua masih mau menampung dan membiayainya, terlebih Iris tidak ditinggalkan di Indonesia bersama para sepupu yang juga menatapnya begitu berbeda.

Iris masih bersyukur, setidaknya di sini ia bisa merasakan sedikit kebebasan.

"ACME International High School."

Gadis yang selalu mengucir kuda surai hitam sepunggungnya itu segera memasukkan ponsel ke dalam ransel, lalu mengikuti langkah beberapa siswa ACME lainnya yang turun dari bus.

"Oke Iris kau pasti bisa, mereka tidak akan menyakitimu atau mengataimu yang tidak-tidak. Hari ini semuanya akan baik-baik saja seperti yang telah lalu."

ALPAS - LAILA ARMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang