18. Takut Kehilangan : Jae bercerita.

235 34 0
                                    

"Kalea."

"Iya."

"Lembur?" tanya saya dengan mata yang melihat jam dinding, pukul 8 malam.

"Iya. Maaf lupa kabarin, nanti kalau udah selesai gue langsung ke kamar lo ya."

"Kalau nggak sempet gapapa tapi gue jemput lo ke kantor ya?"

"Iya, tunggu mobil aja nanti gue yang samper."

"Oke, 15 menit lagi otw."

"Iya, hati-hati Je."

Saya mematikan sambungan, turun dari kasur kemudian mengambil hoodie dalam lemari, tidak lupa memakai masker. Saya keluar kamar tidur segera mengambil kunci mobil yang ada di meja dekat TV. Pergerakan saya terhenti ketika melihat bingkai putih persegi panjang dengan foto kami di balik kaca bening.

Garis bibir saya terangkat.

Saya kembali teringat pertemuan pertama kala itu bersama Kalea di Cafe. Pertemuan yang ternyata benar-benar membuat kejadian dalam hidup saya berbeda setelahnya.

Saya kembali melihat Kalea sekali lagi kala itu, berpikir bahwa Kalea adalah makhluk terindah yang pernah Tuhan ciptakan. Lalu saya menjadi bertanya-tanya, apakah semesta sudah membuat takdir seperti ini untuk saya dan Kalea?

Pada senyumnya saya menetap, sekali lagi hati saya jatuh padanya.

Rasanya saya ingin sekali selalu menikmati seutas senyum di bibir Kalea untuk waktu yang lama. Saya rasa saya tidak akan pernah bosan melihat senyum Kalea terus-menerus. Saya tidak pernah mengira bahwa efek senyuman seseorang yang kita cintai akan memberikan efek luar biasa yang bisa membuat jantung saya berdetak tak karuan.

Pada tawanya saya menetap, sekali lagi hati saya jatuh padanya.

Saya tidak pernah secandu ini pada sebuah senyuman. Saya tidak pernah secandu ini pada tawa. Saya bahkan tidak pernah secandu ini pada sebuah tingkah lucu yang menggemaskan. Rasanya seolah beribu kupu-kupu beterbangan mengajak saya bercanda ketika saya melihat hal indah itu pada diri Kalea.

Saya kembali teringat bagaimana rupa saya ketika kehilangan Kalea. Bagaimana ketika saya menjalani hari tanpa minat apapun selain pada musik.

Pernah Wildan bertanya pada saya, "Lo punya semua yang lo butuhin di dunia, kenapa lo masih sedih?"

Saya menggeleng dan memberi jawaban, "Belum semua. Dia, dia tidak ada."

Katakan saya egois dan tidak tau diri tapi saya memang membutuhkan Kalea dalam hidup saya. Setiap harinya saya uring-uringan memikirkan apakah Kalea pernah takut ketika kami berjauhan dalam jangka waktu yang lama? Apakah Kalea mengalami mimpi buruk? Bagaimana rasa makanan ringan yang biasa di pesan bersama saat larut malam tapi menikmatinya tanpa saya? Saya terus mengkhawatirkannya. Apakah Kalea pun merasa hampa seperti saya? Apakah Kalea pernah takut saat kehilangan saya?

Banyak pertanyaan yang saya tidak tahu apa jawabannya.

Tapi jika Kalea pernah berpikir takut kehilangan saya, ketahuilah bahwa saya juga sangat takut kehilangan Kalea. Setiap hari saya bangun dengan rasa takut yang luar biasa bahwa Kalea akan pergi tapi pada kenyataannya dia memang pergi kala itu. Lebih tepatnya, kami pergi sendiri-sendiri.

Penahan dalam diri saya mulai retak karena kehilangan sebagian dalam diri. Sedikit demi sedikit, potongan demi potongan mulai menghilang. Setiap kali saya berdiam diri, saya di rasuki oleh perasaan bahwa saya tidak cukup baik untuknya, saya merasa diri saya kurang. Memikirkan bahwa pada akhirnya Kalea akan menemukan seseorang yang lebih baik kemudian hilang begitu saja dari hidup saya.

Tapi saya sangat berterimakasih pada diri saya sendiri yang selama dua tahun kemarin telah kuat dan tidak menyerah dengan keadaan. Walaupun sebenarnya saya tidak sekuat itu dan saya tidak pernah siap untuk kepergian seseorang. Tidak peduli seberapa banyak saya mengatakan bahwa diri saya siap, tapi kenyataannya saya memang tidak pernah siap untuk kembali menyambut orang baru dalam hidup saya.

Lalu hari itu datang, entah bagaimana rasanya semakin sulit ketika waktu itu tiba. Sore hari, kami duduk berhadapan dengan saling menanyakan kabar setelah dua tahun hilang tanpa kabar. Rasanya semua pertahanan selama dua tahun yang saya bangun kuat-kuat runtuh tidak sampai satu hari. Jantung saya seakan ingin meledak tapi saya harus bisa menahan diri.

Saya berpikir mungkin dulu kami masih memiliki ego yang sangat tinggi dan lebih mementingkan diri masing-masing. Tapi kali ini saya merasa semua berbeda, saya melihat Kalea tumbuh dan berubah menjadi lebih baik, saya rasa. Sulit untuk mengetahuinya, banyak perubahan yang terjadi dalam beberapa tahun. Sore itu yang saya tahu adalah kami berhadapan, saling pandang dengan sorot mata penuh kebingungan.

Namun banyak kebingungan yang saya alami setelah pertemuan pertama pada kala itu. Saya jadi banyak memikirkan Kalea setelahnya. Memikirkan di gelap malam dan cerahnya pagi dengan air mata yang tiba-tiba keluar tanpa izin saya. Yang saya tahu, peraaan saya sedih dan senang secara bersamaan.

Jadi, jika Kalea pernah takut kehilangan saya, ketahuilah bahwa saya juga takut kehilangan Kalea dan di sisi lain saya berharap Kalea juga seperti saya, bahkan mungkin lebih. Jika Kalea pernah takut kehilangan saya, jangan takut, karena Kalea akan selalu memiliki saya.

"Jae."

Saya terlonjak, lamunan saya buyar. Kami sudah berada di kamar apartemen saya dari satu jam yang lalu. Saya berada di sofa sedangkan Kalea di meja makan masih sibuk dengan pekerjaan kantor. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam tapi Kalea masih berkutat dengan layar laptop berisi banyak tulisan.

"Udah selesai, Kal?" saya menoleh.

"Belum."

Saya melihat Kalea merenggangkan tubuh, pasti setiap sendinya terasa pegal karena seharian duduk di depan laptop.

Saya menghampiri. Saya berdiri di belakang kursi yang Kalea duduki, memberi pijitan pada pundak Kalea sembari melihat proses pekerjaan Kalea yang membuat mata saya sakit. Tulisan semua, pusing lihatnya.

Kalea menoleh, "Udah laper ya? Sekarang jam berapa?" tanyanya yang saya rasa dia tidak menyadari sudah berapa lama dia duduk di depan laptop.

"Jam sepuluh, mau makan apa? Nanti gue turun buat beli."

Wajah Kalea tampak terkejut kemudian memijit pelipis, mengikat rambutnya secara asal kemudian menoleh pada saya.

"Maaf gue kelamaan. Lo udah laper ya?"

Saya menggeleng, "Gapapa, lebih baik lo selesaikan dulu biar besok nggak numpuk."

"Mau makan di luar aja nggak? Sekalian cari udara," katanya kemudian menutup laptop dan merapihkan berkas.

Saya melingkarkan tangan di leher Kalea dari belakang, menaruh dagu di kepala Kalea sebagai tumpuan.

"Kenapa?" tanya Kalea mengelus lengan saya.

Saya terkejut ketika Kalea tiba-tiba berdiri kemudian berbalik ke arah saya, setelah itu membalas pelukan saya dan menenggelamkan wajah pada dada saya. Ya tingginya hanya segitu, tapi saya suka.

Saya mempererat dekapan pada tubuh Kalea, mengecup ujung kepalanya beberapa kali.

"Ayo, katanya mau makan di luar?"

"Sebentar," katanya, saya hanya mengangguk sesekali mengelus rambutnya.

"Lo kenapa?" tanya saya karena sudah lebih dari sepuluh menit Kalea hanya diam sambil memeluk saya.

Kalea mendongak dengan senyum di wajah membuat saya heran.

"Tadi gue cape banget tapi sekarang udah nggak kok."

"Udah?" alis saya terangkat.

Kalea mengangguk, "Udah isi tenaga."

Saya mengernyit, "Perasaan kita baru aja mau cari makan, kenapa tenaganya udah ke isi?"

"Isi tenaga gue itu dengan peluk lo. Cukup dengan itu, tenaga gue udah penuh lagi," katanya sembari memamerkan deretan gigi putih yang membuat pipinya mengembang.

Saya tersenyum. Benar, kami perlu isi tenaga satu sama lain.

[1] For Us - DAY6 Jae ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang