"Le?"
"Kalea?"
Kalea tersentak, "Iya? Kenapa?"
"Gue manggil lo daritadi dan lo ngeliat hp terus, fokus dulu bisa?"
Kalea mengangguk, "Iya, maaf Wil."
"Kalau lo ada masalah, cerita aja ke gue nanti habis meeting ini."
Bahkan setelah hubungan berakhir, kekhawatiran dan kebiasaan tidak berakhir tapi berlanjut. Kebiasaan yang keduanya lakukan seperti mengirim pesan terasa hilang. Setiap hari Kalea meyakinkan diri agar baik-baik saja tapi ternyata dirinya tidak cukup kuat untuk menghadapi. Mengucapkan baik-baik saja kepada orang lain memang mudah, tapi untuk diri sendiri terasa sulit.
Kalea merindukan setiap pesan dari Jae. Kalea merasa kesepian dengan tidak adanya notif yang biasa sangat banyak menghiasi layar ponsel, dari hal penting sampai tidak, semua membuatnya senang. Karena Kalea merindukannya, Kalea makin merasa kesepian. Persetan dengan rindu, Kalea merindukan Jae. Kalea membutuhkan Jae sekarang.
Wildan menyender di sofa, merenggangkan tubuh yang terasa pegal karena meeting semenjak pagi dan sore ini baru selesai.
"Apa yang tadi lo pikirin?"
Kalea yang baru selesai merapihkan berkas menghampiri, duduk di kursi depan Wildan, "Hp gue enggak ada chat."
Wildan menatap dengan mata melebar dan alis terangkat, "Masih?"
Kalea menekuk leher, "Masih."
"Le, udah dua tahun lho."
"Belum terbiasa, Wildan."
"Lo mau menyesuaikan diri sampai kapan?"
Kalea mengangkat bahu, "Sampai gue siap."
"Tapi lo enggak siap-siap."
"Itu dia."
"Dua tahun berdamai sudah lebih dari cukup seharusnya."
"Berdamai dengan rasa sayang yang harus diikhlaskan karena tidak bisa di miliki kembali itu sulit juga ya, menyakitkan," jawab Kalea dengan senyum tipis.
Wildan menghela nafas, Jae ataupun Kalea sama, saling menunggu tapi tidak ada yang bertindak. Wildan tau ini tidak mudah untuk Jae ataupun Kalea, tapi mau sampai kapan mereka seperti ini?
Kalea menghela nafas panjang, "Sebenernya yang buat kita kecewa tuh ekspektasi kita sendiri gak, sih?"
"Makanya gue gamau berekspetasi banyak," jawab Wildan.
"Tapi enggak mungkin lo ga berharap apapun ke Milena, kan?"
Wildan mengangguk, "Gue pasti berharap tapi semua balik lagi ke diri sendiri, lo sanggup apa enggak dengan harapan itu? Lo boleh buat diri lo untuk berharap tapi lo harus tau konsekuensi yang bakal lo terima. Karena semua yang kita lakukan pasti ada konsekuensinya, mau itu dampak positif atau negatif, harus siap karena itu yang lo pilih. Dan lo harus berpikir kesampingnya, bagaimana jika orang yang lo harapan tidak memenuhi itu? apa yang akan lo lakukan agar diri lo baik-baik saja dengan kekecewaan dari harapan itu."
"Gue sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap pada manusia ya," balas Kalea.
"Jangan menyiksa diri lo sendiri dengan segala ekspetasi lo, Le."
"Gue tau dan gue mencoba tapi sulit, semua terjadi begitu saja, Wil."
"Lo ketemu dia kan?"
Kalea membelalak, "Kok tau?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] For Us - DAY6 Jae ✔️
Fanfiction"Apa kabar?" Pertanyaan klasik tapi mampu membuat saya tidak berkutik setelah menjabat tangannya. Tangan hangatnya menggenggam tangan saya sembari memberikan senyuman. ✨ Kisah dari dunia "Time of Our Life" ✨ Before you read this story, please make s...