19. Dengan Dia : Kalea bercerita.

237 33 0
                                    

Pada akhirnya, jika seseorang ingin berada dalam hidupmu, mereka akan melakukannya. Sungguh, mereka akan berusaha, mereka akan muncul dan berjuang.

Sungguh, awal perpisahan saya dan Jae sangat berat bagi saya, saya rasa bagi Jae pun begitu. Sebisa mungkin saya tidak berpikir tentangnya agar bisa fokus menjalani hidup. Saya berusaha keras untuk menerima kenyataan yang ada dengan mendoakan dia baik-baik setiap kali saya memikirkannya.

Rindu tentu saja ada, sangat malah, tapi saya tidak mau berharap banyak. Saya hanya berharap agar dia memikirkan diri dengan baik, berharap dia tumbuh dengan baik dan berharap dia selalu dalam perjalanan hidup yang baik.

Setelah pertemuan pertama dengan Jae kala itu saya terlalu malu untuk bilang bahwa setelah itu Jae seringkali memenuhi pikiran saya. Bahkan masuk mimpi pun pernah, kadang-kadang sih.

Saya berusaha menghadapi Jae dari beragam sudut pandang karena saya tau Jae seringkali takut saya akan kecewa jika Jae terlambat atau salah dalam melakukan sesuatu hal. Padahal saya belum tentu akan marah pada hal yang dia lakukan, saya cenderung lebih senang mendengar penjelasan dia yang terkadang saya malah fokus ke wajah dia yang sangat menggemaskan saat menjelaskan alasannya.

Saya meluruskan kaki dengan Jae yang berbaring di paha saya, kami sedang menonton TV di kamar apartemen Jae malam ini.

"Jae gue mau nanya, jawab jujur."

"Apa?"

Saya mengelus setiap helai surainya seraya melihatnya yang fokus pada televisi.

"Setelah putus dari gue, lo punya pacar lagi?"

Jae melihat saya, "Kenapa?"

"Tinggal jawab."

"Lo juga tinggal jawab."

"Kan gue yang nanya duluan?!"

"Kok galak?"

"Jaeenan."

Jae tertawa. Sudah saya bilang, Jae selalu saja menyebalkan sekaligus menggemaskan di saat yang bersamaan.

"Enggak kok, gue nggak pacaran lagi. Lupain lo aja nggak bisa, gimana mau pacaran lagi."

Saya mengangguk, "Oh..."

Saya mengalihkan pandangan, saya bisa merasakan Jae menatap saya sambil tersenyum. Ah, dia selalu datang dengan senyum yang dipandang berkali-kali pun tetap mengagumkan bagi saya.

"Kenapa senyum-senyum?" tanyanya.

Saya melirik ke bawah, "Enggak boleh?"

"Boleh, sering lebih baik."

"Keseringan gila dong?"

"Iya, aku gila karena cintamu."

Saya tersenyum menahan tawa. Terkadang godaan Jae sangat menggelikan bagi saya tapi tetap mampu membuat senyum saya bertambah lebar.

"Geli."

Kalian tau? Saya tidak pernah sejauh ini menjalin hubungan. Bersama Jae, rasanya pengecualian. Jae meluluhkan perasaan saya dengan sikapnya yang sering kali di luar dugaan. Dia lucu, bahkan walau hanya diam.

Saya suka memandangi Jae diam-diam. Memandangi ketika dia serius mengerjakan sesuatu, itu terlihat sangat berkharisma bagi saya. Memandangi dia ketika makan yang membuat pipi kecilnya jadi membesar penuh oleh makanan. Memandangi setiap kegiatan yang dia lakukan yang entah kenapa berhasil membuat saya tersenyum.

"Sayang."

Mata saya melebar kemudian menoleh pada Jae yang masih berbaring di paha saya. Jae juga memandang saya, tentu saja dengan senyum jahil yang sudah di tampilkan.

"Kenapa?"

"Kok pipi lo merah?"

Sekali lagi saya terkejut membuat saya dengan spontan memegang pipi, setelahnya saya bisa mendengar Jae tertawa dengan puas. Saya menghela nafas kemudian mengacak rambutnya membuat dia mengaduh tapi masih dengan tawa di wajah.

"Rese!"

"Lagian muka lo lucu banget pas gue panggil sayang," katanya masih tertawa kemudian mengambil tangan saya, memainkan jari jemari saya sesekali memijitnya.

Mungkin saya pun sama malunya dengan dia jika urusan percintaan karena sering kali kami merasa geli saat melontarkan kata-kata manis pada satu sama lain.

Saya menghela nafas pelan, tidak sanggup untuk menatap wajahnya dari jarak yang berdekatan seperti ini. Tapi saya pikir, saya lebih mending karena saya bisa mengatur raut wajah saya dengan baik dan tidak begitu terlihat kalau sedang mati-matian kegirangan. Berbeda dengan Jae yang sangat mudah saya tebak jika sedang kegirangan, tapi selalu saja dia tepis alias dia tidak mengakui itu, padahal saya tahu betul.

Mata saya melihat keluar jendela, senja mulai datang. Seharian kami hanya menghabiskan waktu di kamar apartemen Jae, mulai dari bersih-bersih, makan, dan sekarang nonton. Menikmati satu hari yang menyenangkan walau di rumah saja.

Saya memandang langit sore masih dengan mengelus surainya, sedangkan Jae masih asik menonton acara televisi sesekali tertawa. Saya tersenyum, bagaimana bisa dulu saya meninggalkan pria seperti ini? Saya rasa dulu saya sedikit bodoh.

"Maaf ya Jae."

Jae mengubah posisi yang tadinya menghadap depan menjadi telentang, menatap saya dengan heran.

"Buat?"

"Kemarin lo banyak kena komentar buruk karena berita sama gue."

"Enggak perlu minta maaf Kalea. Mereka berkomentar karena hanya melihat tanpa tau yang sebenarnya. Jangan menyalahkan diri lo sendiri ya."

"Lo juga jangan menyalahkan diri sendiri ya."

"Iya, gue menganggap semua kritik itu sebagai pelajaran hidup. Bahwa melalui pengalaman itu, gue jadi mendapatkan lebih banyak pengetahuan tentang masalah tertentu dan bisa menjadi orang yang lebih baik lagi. Benar kan?"

Saya mengangguk setuju.

"Jae."

"Iya?"

"Terima kasih sudah kuat."

Jae tersenyum, "Terima kasih sudah menguatkan gue juga, Kalea."

Membayangkan bagaimana Jae yang mengalami banyak hal tapi masih bisa menenangkan saya pasti sulit. Berita kemarin membawa banyak kebencian dan kata-kata menyakitkan yang dilemparkan pada Jae dan tentu untuk saya juga. Namun Jae tetap menganggap semua kritik itu sebagai pelajaran hidup. Bahwa melalui pengalaman itu, dia mendapatkan lebih banyak pengetahuan dan bisa menjadi orang yang lebih baik lagi. Sekali lagi, saya di buat terkagum-kagum olehnya.

Saya mengamati setiap lekukan pada wajah Jae membuat senyum saya mengembang. Memandangi bentuk wajahnya yang selalu saja membuat saya terkagum-kagum. Bagaimana bisa dia begitu tampan walau rambutnya sudah berantakan karena saya mainkan?

Saya benar-benar di buat gila olehnya.

Jika matahari terbenam bersama Jae mampu menjadi indah, maka saya rasa matahari terbit bersama Jae pasti akan indah pula. Jika langit sore bersama Jae bisa menenangkan, saya rasa pagi, siang dan malam bersamanya pun akan tenang. Jika hidup mampu menghadirkan rasa gembira dan tawa bagi kami, maka saya ingin menghabiskan saat-saat itu bersama Jae. Saya rasa juga, saya tidak bisa membayangkan jika semesta tidak memberikan keajaiban semacam ini jika tanpa Jae di dalamnya. Saya sangat bersyukur atas takdir yang di berikan untuk saya.

"Jangan pergi lagi ya."

Jae tersenyum, sangat indah, sungguh.

"Iya, kita bareng-bareng ya."

Dengan tangan Jae yang menggengam tangan saya, saya merasa seperti ada kekuatan yang merambat masuk pada tubuh. Jae melindungi saya, membuat saya merasa aman di semua momen kehidupan sehingga kami dapat menghadapi dunia.

Dengan dia, dengan Jae, di sisi saya.

Bertemu dengan seseorang dalam hidup, merupakan hal yang begitu menakjubkan. Seperti saya yang bertemu Jae dalam hidup saya.

[1] For Us - DAY6 Jae ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang