Bagian tersulit dari sebuah perpisahan adalah segala sesuatu yang datang setelahnya. Ketika bangun di pagi hari kemudian meraih ponsel dan melihat layar, hanya terlihat tampilan jam tanpa sebuah pesan seperti biasanya. Dulu, ketika ingin berbagi cerita Jae dengan mudah menemukan seseorang untuk di tuju tanpa ragu, namun mengingat bahwa seseorang itu sudah tidak bersamanya, semua terasa berbeda. Jae terus-menerus merenungkan tentang kesalahan diri sendiri dan Jae merasa seperti malah mengurung diri di satu tempat, masih sama.
Jae teringat ketika awal perpisahan mereka dan mengemudi melewati rumah Kalea, menghentikan mobil menatap pintu rumah kemudian menarik napas dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Jae melihat lagi, melihat Kalea keluar pintu membuat Jae mengalihkan pandangan dan menahan air mata, itu tidak pernah mudah.
Jae sudah berusaha mengusir rindu sekeras mungkin tapi nyatanya Jae tetap kalah yang berujung membiarkan setiap harinya ditemani rindu yang membelenggu.
Jae sudah berjuang melupakan segala tentang Kalea, tentang makanan dan minuman kesukaan Kalea, tentang kebiasaan kecil yang Kalea lakukan yang sudah sangat Jae ketahui dan semua memori tentang kisah mereka dahulu.
Jae sudah mencoba untuk tidak peduli tentang semua yang terjadi, semua yang menyangkut tentang Cafe kesukaan mereka, semua tentang jalan yang pernah mereka lewati bersama dalam canda tawa dan semua tentang kegiatan yang sering mereka lakukan.
Jae juga mencoba untuk terbiasa menjadi seseorang yang biasa saja ketika mendengar radio memutar lagu kesukaan Kalea ketika keduanya berada di dalam mobil untuk pergi ke suatu tempat, mencoba menjadi biasa saja ketika melihat langit senja di ujung hari yang biasa mereka nikmati ketika lelah dengan pekerjaan dan menjadi biasa saja ketika sudah tidak ada lagi makna untuk keduanya.
Tapi semua berujung sia-sia, dan Jae kalah lagi untuk yang kesekian. Nyatanya semua perihal tentang "Kita" dalam benak Jae tidak akan pernah hilang. Bahkan semestapun tau, Jae tidak akan pernah mampu karena Jae selalu merindu.
"Ada apanih tiba-tiba minta kumpul?" tanya Shaka yang baru muncul dari balik pintu apartemen Jae.
Jae tersentak, lamunan sedari tadi yang membuat otaknya bekerja buyar.
"Sibuk banget ya bapak Shaka ini?" canda Brian.
"Biasalah, kerjaan numpuk terus kayak dosa lo," balas Shaka tertawa.
Brian berdecak, "Mulut lo minta di gerus."
Wildan dan Doddy kembali dari dapur membawa snack beserta beberapa minuman botolan di tangan, menaruh di meja ruang TV ikut bergabung bersama yang lain.
"Kerjaan aman, Wil?" tanya Shaka.
"Aman dong."
Jae memperhatikan teman-teman dengan senyum, bersyukur walaupun sudah tidak tinggal bersama masih bisa berkumpul seperti biasa. Jae menghela nafas untuk beberapa kali, menyiapkan beberapa kata yang akan segera di ucap.
"Gue mau rehat."
Semua menoleh, mengamati Jae dengan raut wajah tenang walaupun mereka tau dalam diri Jae tidak setenang itu.
"Lo serius?" tanya Brian.
Jae mengangguk pelan, "Gue merasa kondisi gue saat ini enggak bisa buat bermusik, terlalu banyak hal yang membuat fokus gue jadi teralihkan."
"Apa ini karena Kalea?" tanya Wildan hati-hati.
Jae menggeleng, "Sebelum dia muncul, gue udah ngerasa jiwa dan pikiran gue udah enggak benar. Gue terlalu banyak khawatir tentang hal yang belum tentu terjadi dan berpikir negatif, gue rasa mental gue lagi enggak sehat untuk sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] For Us - DAY6 Jae ✔️
Fanfiction"Apa kabar?" Pertanyaan klasik tapi mampu membuat saya tidak berkutik setelah menjabat tangannya. Tangan hangatnya menggenggam tangan saya sembari memberikan senyuman. ✨ Kisah dari dunia "Time of Our Life" ✨ Before you read this story, please make s...