Es di gelasnya yang berisi whiskey bergoyang ketika ia menengadahkan kepalanya untuk menonton berita malam yang sedang menayangkan konferensi pers kepolisian Harmac tadi pagi. Para polisi terlihat pucat dan tidak bergairah, padahal mereka telah sukses menangkap The Eyeball Hunter.
Ia tersenyum sinis. Bagaimanapun pelaku sebenarnya selama ini ada di depan mata mereka dan mereka membiarkannya keluar masuk kepolisian. Ditambah lagi, para polisi dan Agen NIC lebih memilih melacak keberadaan pelaku daripada melindungi korban paling potensial yang kebetulan adalah pejabat di Harmac. Tentu saja masyarakat menghujani mereka dengan caci maki dan kritik. Meskipun tentunya lebih banyak masyarakat yang bersuka cita dengan matinya pejabat gendut paling korup di Harmac.
Pintu bar di belakangnya terbuka, membuat ia menolehkan kepalanya. Seorang wanita yang ia kenal kemudian memasuki bar dengan gaun selutut berwarna merah yang memeluk tubuhnya dengan sempurna dan sepatu hak tinggi. Ia tersenyum ketika melihat wanita itu menghampirinya. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, wanita itu memeluk dan mencium bibirnya, nafasnya terasa hangat ketika bibirnya sedikit membuka.
"Halo, Rako. Senang akhirnya bisa menciummu..." ucap wanita itu, senyum lebar menghiasi wajah cantiknya.
"Hentikan, Arni. Aku benar-benar tidak senang dengan nama itu," ucapnya dengan wajah cemberut.
Arni duduk di bar stool yang ada di sampingnya dan tertawa, "Aku tidak mengerti bagaimana kau lebih senang dipanggil 'tikus' daripada nama aslimu sendiri," ucapnya, nadanya mengejek.
"Karena menurutku RAT terdengar lebih keren," ia terkekeh, kembali menggoyang es yang berada di gelasnya.
Arni tahu alasannya, ia hanya menggodanya.
Rako adalah nama yang diberikan oleh orang tua-nya, orang tua yang sudah mengusirnya ke jalanan, membiarkannya tinggal bersama tikus got sebelum ia bertemu dengan kecanggihan teknologi bernama komputer dan peretasan. Nama asli yang ia gunakan untuk menyamar menjadi cameraman Linda, untuk mengawasi dan memastikan bahwa wanita itu tidak mengetahui keberadaan Dina di dalam dirinya.
"Kamu sudah membereskan semuanya dengan rumah sakit?" tanya RAT kepada Arni yang sedang memutar-mutar zaitun di gelas martini-nya.
"Sudah, mereka tidak curiga sama sekali ketika aku hanya memberikan surat pengunduran diri dan tidak datang lagi ke rumah sakit keesokan harinya," ucapnya santai. "Para detektif polisi itu pasti sudah curiga ada yang membantu Dina, tetapi kau menutupi semua jejak dengan rapih, RAT."
Kembali pintu bar di belakang mereka terbuka, tiga wajah yang familiar dengan mereka memasuki bar tersebut. "Wah, ramai! Sepertinya kita harus pindah ke meja!" seru Lena dengan riang ketika menghampiri Arni dan RAT di meja bar.
"Lena, kau mau minum apa biar kupesankan?" tanya Ezky, lalu ia beralih ke seorang pemuda seumuran mereka di sebelahnya, "Sekalian... kau mau minum apa, Wolfie?"
"Tidak ada kopi?" tanya Jon Wolfie dengan cengiran lebar, "Bir saja kalau begitu. Terima kasih, Ezky."
Bar malam itu tidak terlalu ramai, mungkin karena masih hari kerja jadi mereka bisa leluasa memilih meja. RAT dan Arni mengikuti langkah Lena ke salah satu meja yang terletak agak di pojok dengan membawa minuman mereka. Hanya ada 4 kursi di sana jadi RAT meminjam kursi dari meja sebelahnya.
"Apakah kita harus menyediakan kursi untuk Touya?" tanya Arni.
"Touya sedang membantu Damien menyiapkan misi Polgarra dan juga ada banyak urusan NIC yang harus ia selesaikan. Sungguh pria yang sibuk," jawab Ezky yang datang membawa tiga gelas bir dan memberikannya kepada Lena dan Wolfie. "Jadi, ia bilang ia sangat menyesal tidak bisa datang dalam perayaan ini." Ezky duduk dan mengangkat gelas bir-nya, "Cheers?"
Teman-temannya mengangkat gelas mereka, mengikuti instruksi Ezky dan mendentingkan gelas mereka di udara, "Cheers!"
"Aah, aku benar-benar merindukan berkumpul dengan kalian!" seru Wolfie setelah menenggak birnya.
"Kenapa? Tidak pernah minum-minum dengan teman-temanmu di kepolisian?" tanya Arni.
"Mereka itu memang payah! Kapan saja kau ingin kembali, pintu kami selalu terbuka!" seru Lena dengan senyuman lebar, yang dibalas Wolfie dengan gelak tawa.
RAT kemudian bertanya, "Posisimu aman, kan? Mereka tidak membuka kembali kasus Cornell Vangal dan memutuskan menyelidiki ulang mayat dan tulang belulang yang waktu itu ditemukan di rubanah-nya?"
"Kurasa cukup aman. Itu kasus 10 tahun yang lalu. Lagipula, orang akan sulit percaya bahwa remaja 18 tahun-lah yang memasok mayat-mayat itu untuk Cornell." Wolfie meminum birnya lagi, "Orang aneh Cornell itu. Seorang pedagang biasa namun hobinya adalah membedah mayat dan melihat bentuk organ setelah kematian."
"Ya, dia itu klien terakhirmu sebelum kau memutuskan untuk belajar ilmu patologi dan bergabung dengan forensik kepolisian," tanggap Arni. "Kurasa kalian cukup dekat sampai-sampai dia menitipkan kunci rubanah dan laci itu untuk kau berikan pada anaknya..."
"Dan, memulai ini semua..." tambah RAT.
Wolfie mendesah, menyandarkan tubuhnya di kursi, "Perlu waktu 10 tahun untuk akhirnya bisa memberikan itu kepada Dina. Untunglah dia sangat senang berkeliaran di sekitar polisi sehingga aku bisa menemukannya. Yah, siapa yang menyangka kunci itu ternyata mengarahkan Dina ke laci berisi surat dari Cornell dan kartu nama organisasi."
"Aku tidak tahu pasti isi surat itu, tapi yang jelas itu menyulut api dendam dan memicu kembalinya Dina Lorden ke permukaan," ujar Arni, matanya melihat buah zaitun di dalam martini-nya. Sungguh, ia masih menyayangkan keputusan Dina untuk membalas dendam ketika kehidupannya sebagai Linda bisa dibilang baik-baik saja. Rangkulan di bahunya menyadarkan Arni, ia tersenyum ketika melihat rangkulan itu berasal dari RAT.
"Baiklah, sudah cukup omongan soal pekerjaannya!" seru Lena. "Karena kita semua telah bekerja keras, mari minta Touya untuk memberikan kita liburan!"
"Liburan ke Polgarra?" tanya Ezky dengan nada sinis.
"Oh, tidak... Polgarra adalah kota dengan pemandangan indah dan surga kesenangan, tetapi sebentar lagi akan penuh dengan api neraka. Jadi, tidak, terima kasih!" balas Lena, ia meninju pelan pundak Ezky. Sementara yang lain tergelak karena lelucon itu.
Mereka tahu pekerjaan mereka selalu berkaitan dengan kematian, namun bukan berarti mereka tidak tahu bagaimana caranya berbagi tawa dengan teman dan rekan. Mereka juga berhak untuk itu.
Iya, kan?
Merchants of Death #2 - FIN
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Thank you all!
See you at Merchants of Death #3 - City Square
KAMU SEDANG MEMBACA
HOSPITAL WARD (M.O.D #2)
Mystery / ThrillerMasa lalu yang mengenaskan menjadi pengantar memasuki lorong-lorong suram Rumah Sakit Harmac. Dimulai dari tiga mayat yang menggantung di bawah langit subuh yang kelabu, Detektif Dennis harus menghadapi seorang pembunuh berantai yang berbeda dari bi...