Third Body

1K 133 10
                                    

Lorong itu hanya diterangi berkas cahaya yang keluar dari celah di bawah pintu ketika ia berjalan perlahan menyusurinya. Gelap. Sunyi. Namun, bahkan dalam kegelapan seperti itu ia bisa merasakan mata mereka yang mengawasi setiap langkah yang ia derapkan. Ia memang tidak berpapasan ataupun bertemu dengan mereka, apalagi melihat seperti apa wajah mereka, tetapi ia tahu mereka sedang berdiri mengawasinya dari sudut yang tak diterangi cahaya.

Entah bagaimana mereka bisa menyiapkan panggung ini untuknya. Rumah sakit yang biasanya penuh dengan suster ataupun dokter ataupun staf rumah sakit dan keamanan yang berlalu lalang, kini sepi dan sunyi. Bahkan tadi ketika ia menaiki tangga darurat seperti yang mereka tuliskan di rencana itu, tidak ada orang yang menghentikannya. Memang sekarang sudah lewat tengah malam, tetapi yang ia tahu rumah sakit tak akan pernah kosong melompong seperti ini. Semuanya seperti sudah diatur dengan seksama untuk berjalan mulus tanpa halangan.

Itu tidak wajar.

Meski di saat yang bersamaan ia merasa itu tentu saja hal yang menguntungkan baginya.

Sama seperti kemarin, ketika ia hanya harus menunggu di belakang rumah sakit ini. Di tempat yang sudah mereka perintahkan. Ia hanya menunggu dan ketiga orang itu disediakan di depannya. Meronta-ronta tak berdaya, memohon ampun tanpa suara karena mulut yang tersumpal kain kotor berbau busuk ketika ia mencongkel sepasang mata mereka. Ia merasakan kepuasan dan lepasan beban yang melegakan ketika ia menyayat leher mereka dengan sebilah pisau. Senyum lebar menghiasi bibirnya ketika melihat cairan merah kental itu mengalir deras.

Ia bertanya-tanya apa yang akan dirasakannya kali ini.

Matanya menatap lurus ke sebuah papan besi bertuliskan "VIP I". Diliriknya CCTV yang ia sadari berada di langit-langit ketika ia melangkah menyusuri lorong. Lampu CCTV itu berkedip, tetapi mereka sudah membisikinya untuk tidak khawatir dengan CCTV.

Dan, ia percaya kepada mereka.

Terbukti ia masih berada di sini setelah perbuatannya yang pertama juga terekam CCTV.

Tarikan nafasnya bersuara pelan di tengah kegelapan. Digenggamnya erat pisau tipis yang tadi berhasil melalui metal detector rumah sakit dengan mulusnya. Pintu itu terbuka dan ia bisa melihat korbannya yang bernafas pelan di atas ranjang. Dadanya naik turun, menandakan kehidupan yang tidak lama lagi akan ia renggut.

Lamat-lamat ia berjalan menghampiri ranjang itu. Dilihatnya seorang wanita yang tertidur masih dengan riasan wajah yang sempurna, lengkap dengan bulu mata palsu dan pulasan mata menor. Hanya bagian hidungnya saja yang ditutupi perban, hasil operasi hidung untuk pemulihan plastik yang meleleh.

Dahulu, ia mengingat, wanita ini hanya mahasiswi miskin yang hidupnya mengemis dari tips yang diberikan orang-orang kaya. Menjual tubuhnya. Bahkan menjual jiwanya untuk uang.

Wanita ini adalah satu dari sekian orang yang membuatnya melakukan ini.

Jantungnya berdegup kencang, adrenalin memompanya. Ia tidak sabar melihat darah mengalir deras dari leher jenjang itu. Tidak sabar melihat wanita palsu ini meronta-ronta, mengejang ketika nyawanya meregang. Dalam sunyi ia mendekati wajah wanita itu, menyeringai lebar, "Kecantikan buatan hanya menghasilkan hati yang busuk," bisiknya di telinga wanita itu.

Terdengar erangan, sepertinya wanita itu akan bangun. Namun, sebelum wanita itu membuka matanya, ia sudah membekap mulut wanita itu dengan tangannya. Sudah waktunya wanita itu merasakan penderitaan tiada akhir di neraka.

Dan, ketika mata wanita yang ia bekap itu membuka, ia mengayunkan pisaunya.

***

"Pertunjukkan pembukaan yang sangat mengesankan," ujar seorang pria di telepon sambil melihat foto yang dikirimkan lewat surat elektronik. "Sayang sekali aku tidak dapat melihatnya langsung."

Lawan bicara pria itu tersenyum, "Tenanglah, masih akan ada yang lainnya."

"Aku sedang berada di dalam pesawat jet menuju ke tempat kalian. Menurut Leader aku harus mengawasi agar ini semua selesai tidak lebih dari 2 minggu..."

"Kami tahu itu. Klien juga sudah menyanggupi."

Pria itu mengukirkan seutas senyuman puas di bibirnya, "Baiklah. Aku menantikan hasil kerja kalian. Sampai jumpa."

Pembicaraanitu berakhir dan lawan bicara pria itu menatap teleponnya sejenak sebelum iamenoleh, melihat ke kegelapan lorong rumah sakit. Menunggu eksekusinyaterlaksana.    

HOSPITAL WARD (M.O.D #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang