Sixth Body

499 92 7
                                    

Tengah malam adalah waktu untuknya.

Ia membuka lemari dapur dan mengeluarkan sebotol wine merah yang sudah ia buka. Isi botolnya tinggal setengah. Ia terlalu menyayangi wine itu hingga ia hanya menuangnya sedikit ke dalam gelas berbentuk lonceng. Diendusnya wine itu, mencoba menelaah kompleksitas aroma yang dihasilkan, menikmati ketajaman aroma yang memanjakan indra penciumannya. Setelahnya ia memutar-mutar gelasnya, menikmati spektrum warna merah burgundy yang tercipta. Ketika wine itu menyentuh lidahnya, ia merasakan kehangatan, kemewahan dan kepuasan.

Malam ini adalah hari liburnya. Ia tentu saja berhak atas waktu bersantai ini. Terutama setelah pembunuhan yang ia lakukan sebelumnya.

Ia masih bisa mengingat sensasinya dengan baik. Tangannya bergetar jika mengingatnya. Ketika ia membuat irisan tipis di leher mereka. Melihat darah mereka merembes bagaikan percikan merah yang indah. Spektrum warna yang lebih indah daripada spectrum warna yang dihasilkan oleh wine. Ketika cairan kental merah itu membasahi tangannya, menetes-netes di lantai dan membentuk genangan merah yang berkilau. Ia masih bisa mengingat itu dengan baik. Setiap rincinya. Termasuk mulut korbannya yang menganga ketika sadar bahwa nyawa mereka telah terenggut olehnya. Termasuk rintihan tertahan korbannya ketika rasa sakit bagai ditusuk seribu pasak menyiksa mereka.

Indah.

Memuaskan seluruh inderanya.

Lalu, rasa gemas yang masih membekas ketika ia mencongkel bola mata mereka. Terlalu sempurna untuk dilupakan.

Ia ingin merasakan semua rasa itu lagi sesegera mungkin. Sayangnya, mereka masih mempersiapkan sang korban. Mempersiapkan korban itu untuk memasuki panggung pembunuhannya. Rumah sakit yang sekarang ia pikir ia telah familiar dengan lekuk lorong-lorongnya itu karena hampir setiap hari ia berada di sana.

Mengintai. 

Memperhatikan seluruh sudutnya. 

Setiap tangga darurat. Setiap ruangan. Setiap ceruk di lorongnya.

Telepon genggamnya berbunyi, berharap bukan dari orang yang baru saja ia hubungi. Dan, harapannya terkabul. Lebih lagi, telepon itu berasal dari mereka. Ia tahu karena telepon selularnya berbunyi namun tidak ada nama yang tertera di layarnya. Mereka selalu bergerak dengan hati-hati.

"Kabar baik," ucap orang itu, suaranya ia ubah dengan suatu alat. "Korban selanjutnya telah memakan umpan, akan kami kabari lagi secepatnya." Sambungan terputus.

Ia tersenyum. Kembali menatap wine-nya yang kini bergerak-gerak pelan di dalam gelas. Sebentar lagi semua sensasi itu akan ia rasakan kembali.



----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hehe... bonus...

Karena udah lama enggak update, jadi update dua chapter sekaligus, yaaa...

HOSPITAL WARD (M.O.D #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang