Tenth Body

451 76 4
                                    

Dirinya menyukai hujan yang rintik-rintik membasahi kaca jendela di sampingnya. Ia menyukai bagaimana cahaya lampu membias karena air yang melintas. Dan, ketika air itu menitik di tanah, terlihat percikan kecil yang menari-nari. Entah mengapa Arni bisa berpikir demikian di makan malamnya kali ini. Biasanya ia akan berkeluh kesah karena mendapat giliran jaga di malam hari. Namun kali ini, ia merasa suasana hatinya sedang membaik.

Apakah karena makanan di restoran ini sangat enak? Ataukah karena musik jazz yang mengalun lembut di restoran ini terdengar merdu di telinganya? Atau mungkin karena pria yang berada di seberangnya sudah membuatnya tersenyum semenjak ia mengajaknya pergi makan malam ketika mereka tak sengaja bertemu di lorong rumah sakit sebelum ia pulang tadi?

Yah, ia tahu itu bukan kesengajaan dan ia juga tahu maksud tersembunyi pria yang mengenalkan diri sebagai Rako ini. Tetapi, itu tidak menepiskan fakta bahwa mereka menikmati waktu makan malam mereka barusan. Sangat menikmati hingga rasanya Arni tidak mau bangkit dari bangku panjang berwarna toska itu dan pergi bekerja untuk merawat Abash Gonato.

"Lalu sang penjaga toko itu berkata, bahwa apa yang ditunjuk wanita itu adalah microwave, bukan tv karena itu ia tahu bahwa wanita itu pirang dan bodoh meski wanita itu mengecat rambutnya menjadi merah..." ucap Rako sambil menyuap es krim cokelat.

Arni tertawa, lelucon itu memang lucu walau sedikit bernada menghakimi. Maaf, tetapi lelucon mengenai si pirang bodoh memang tidak ada habis-habisnya. Ia selalu merasa bersyukur memiliki rambut cokelat.

Ia melihat jamnya yang sudah menunjukkan pukul 8:00 dan sejam lagi giliran jaganya akan dimulai. Semenyenangkan apapun waktu yang ia habiskan bersama dengan Rako, ia tetap harus pergi bekerja. Arni menggigit bibirnya, akhirnya ia memutuskan untuk menanyakannya kepada Rako.

"Hei..." Arni menggeser piring di depannya, menyilangkan tangannya di atas meja dan bersandar ke depan. Di tatapnya mata Rako, mata yang beberapa jam yang lalu masih asing baginya, namun kali ini membuatnya penasaran ada apa di balik tatapannya. "Aku tidak mau berprasangka, tapi satu jam lagi aku harus masuk kerja dan aku rasa kau harus menanyakan apa yang mau kau tanyakan?"

Raut wajah Rako terlihat terkejut, yang mana sudah Arni duga sebelumnya. Namun, ia berpura-pura terlihat tetap tenang, "Aku sudah menanyakan apa yang ingin aku tanyakan, yaitu mengajakmu makan malam."

Mendengar itu Arni tersenyum, merasa pria di depannya ini tampaknya punya sejuta cara untuk membuatnya merasa senang. Bahkan hanya dengan kata-kata sederhana. "Rako, aku menikmati malam ini. Tapi, aku tahu wanita itu tidak akan senang tanpa kau membawa informasi dariku. Jadi, tanyakan hal yang ingin kau tanyakan."

Terdengar helaan nafas, Rako bersandar di kursi, melihat keluar jendela lalu tertawa kecil. Ketika matanya kembali menatap Arni, ia berucap, "Satu hal yang kamu harus tahu sebelum aku menanyakannya, aku juga menikmati malam ini." Rako mengusap rambut gelapnya, terlihat tampan di bawah cahaya lampu temaram restoran ini. Wajahnya berubah sedikit serius ketika akhirnya ia menanyakan, "Apa yang kau tahu pada malam Nay Irish terbunuh?"

Pertanyaan itu menghentaknya, jantungnya berdegup cepat. Seketika ia bimbang mengenai apa yang harus diberitahukannya kepada Rako. Cemas apakah Rako akan mencurigainya jika ia mengatakan hal yang sebenarnya. Arni tahu ia tidak khawatir dengan apa yang sebenarnya terjadi saat itu, ia hanya takut Rako akan menilainya lain jika ia menceritakan hal itu. Ia menghela nafas, mencoba mencari tatapan menghakimi dari mata pria itu. Namun, yang ia lihat dan rasakan adalah tatapan Rako yang menatapnya cemas, seolah ia juga takut mendengar jawabannya.

Jantung Arni berdegup ketika akhirnya ia mulai bercerita, "Malam itu aku berjaga sendirian di pusat rawat bangsal VVIP sambil mengisi teka-teki silang, aku terobsesi dengan satu pertanyaan menurun yang tidak bisa aku jawab. Lalu, sekitar pukul 2 dini hari, terdapat panggilan dari Abash Gonato. Aku ingat pukulnya karena ada jam di dekat lampu yang menandakan panggilan. Aku segera datang dan ia berulah sangat menyebalkan hingga aku harus memanggil suster lain dari bangsal VIP. Dokter yang saat itu berjaga juga datang, memberikan Abash Gonato suntikan penenang."

Keterangan itu tidak mengagetkan Rako, ia juga tahu mengenai ulah Abash Gonato yang membuat perawat di bangsal VIP harus membantu. Linda sudah menceritakan kepadanya berdasarkan kesaksian suster bangsal VIP yang saat itu berjaga hingga membuat pusat rawat bangsal VIP kosong. "Apa sebenarnya yang diperbuat Abash Gonato hingga kamu harus memanggil perawat dari bangsal VIP?"

Arni terdiam sejenak karena itu adalah pertanyaan yang ia hindari. Sedari awal Rako mengajaknya makan malam, ia tahu maksud pria itu sebenarnya. Ia ingin mengatakan tidak, ingin menolak, dan ia tahu semestinya ia menolak tetapi ia malah menerimanya. Entah mengapa. Mungkin karena Rako begitu menggemaskan ketika ia menghampirinya, terlihat berbeda dari saat ia bekerja dengan wanita itu atau mungkin karena ia penasaran dengan tujuan pria itu sebenarnya.

Jemari tangan Arni saling meremas, ia sedikit gelisah. Ia tahu tahu Rako tidak akan membiarkannya pergi tanpa menjawab pertanyaannya. "Maaf, aku tidak bisa memberitahumu lebih dari itu." Arni tersenyum, degup jantungnya melambat. "You only have to say what I just said to that she devil."

Rako tersenyum, tampak tak mau mendorong lebih jauh. Ia rasanya sadar bahwa ini akan membahayakan hubungannya dengan Arni. "I understand."

***

Hujan telah berhenti, menyisakan kelembapan di udara, titik-titik air yang jatuh dari atap dan genangan air yang terlihat hitam di atas aspal. Udara terasa lembap namun sejuk, seolah air hujan tadi telah membersihkan atmosfer Harmac yang berpolusi. Ia dan Arni berjalan di atas trotoar yang batu-batunya sudah gompel dan berlubang, hingga langkah Arni di atasnya memercikkan air. Restoran tempat mereka makan tadi dekat dari Rumah Sakit Harmac sehingga mereka lebih memilih untuk berjalan kaki ke sana.

"Jadi giliranmu mulai dari jam 9 malam sampai jam 8 pagi. Bukankah itu rasanya terlalu lama?" tanya Rako, sembari memasukkan tangannya ke saku jaketnya.

"Aku harus mengambil sedikit jam tambahan," ucap Arni, senyumnya tipis dan terlihat sedikit sedih. "Kebutuhan keluarga," jawabnya singkat.

Rako sangat mengerti kalau jawaban singkat itu berarti Arni tidak atau belum ingin membuka dirinya kepada Rako. Mereka baru saja berkenalan siang ini dan Rako mengajaknya makan malam hanya karena perintah Linda untuk mencari informasi. Jadi, ia tidak berharap banyak hubungannya dengan Arni berlanjut. Meski mereka sudah bertukar nomor telepon dan tentunya ia tahu di mana Arni bekerja, itu belum berarti Arni ma uterus bertemu dengannya.

Jikalau malam tiba Rumah Sakit Harmac terlihat tambah kelam dan penerangan lampu sorot berwarna putih tidak banyak membantu. Gedung rumah sakit ini sudah terlalu tua. Tentunya mereka bisa bertahan karena ini adalah satu-satunya rumah sakit yang ada di kota Harmac yang kecil ini. Ia mengatakan kecil karena Rako baru tinggal di sini beberapa bulan namun ia sudah mengenal semua orang yang biasa ia lewati ketika ia berjalan menuju kantornya dikarenakan hanya itulah jalan yang bisa dilewati.

"Terima kasih untuk malam ini," ucap Arni ketika mereka menapakkan kaki di pintu depan rumah sakit itu.

Ketika Rako hendak melambaikan tangannya dan menjawab, dari arah belakang terdengar sirine dan ia melihat cahaya warna merah yang berputar-putar. Mobil ambulans membunyikan klakson agar tidak ada yang menghalangi jalan mereka. Mata Rako mengikuti ketika mobil ambulans itu memasuki pelataran Unit Gawat Darurat dan langkahnya mengikuti langkah Arni yang bergegas pergi ke bagian belakang mobil itu, terlihat instingtif ingin membantu.

Ketika pintu belakang mobil ambulans terbuka, Rako terkejut ketika melihat seorang pria gemuk yang terbaring sambil berteriak-teriak dan memegangi kemaluannya. Terlebih ia mengetahui siapa pria gemuk itu. Orang yang bekerja di surat kabar atau media lainnya, terutama jurnalis bagian hukum, pasti mengenali Tahar Fassab, jaksa yang tersohor karena sering tidak mengajukan banding ketika ada pejabat-pejabat yang terkena kasus suap, jaksa yang tidak memberi tuntutan maksimal untuk kasus-kasus kejahatan kerah putih. Ia adalah jaksa korup paling tersohor di Harmac dan sekarang ia terbaring tak berdaya, wajahnya terlihat menahan sakit dan ia meraung-raung. Para perawat di sampingnya berkomunikasi dengan cepat, menyebutkan nama salah satu penyakit menular seksual yang sulit ia lafalkan.

Spontan Rako mengambil kameranya dan mengambil foto Tahar Fassab yang sedang kesakitan. Ini bisa jadi berita yang eksklusif dari surat kabarnya. Bisa jadi setelah ini Linda akan belajar untuk lebih menghargainya. Ia mengambil foto beberapa kali sebelum ia melihat tangan Arni menghalanginya.

"Cukup, Rako!" sentaknya. "Pergilah sebelum ada keamanan yang mengusirmu," tambahnya lagi.

"Tunggu, Arni..."

"I'll call you," ucap Arni sebelum Rako melihat sosoknya yang mungil berlari pergi bersama keranda yang menopang tubuh Tahar Fassab.

HOSPITAL WARD (M.O.D #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang