"Sial!!" umpat Linda, hampir saja ia membanting telepon selularnya ke lantai. "Kenapa si Dennis Tua itu tidak menjawab teleponku!!" bentaknya.
"Tenanglah..." Rako, yang berdiri di sebelahnya sambil memeluk tas kamera, mencoba menenangkan seniornya itu. "Kau menjadi perhatian wartawan lain sekarang," ucapnya santai.
Linda mendelik dan mendapati para wartawan yang sedang berkumpul di depan pintu Rumah Sakit Harmac melihat ke arahnya dan berbisik-bisik. Mereka semua sedang menunggu keterangan dari pihak rumah sakit ataupun kepolisian. Tetapi, Linda berbeda, ia tentu saja tidak bisa menunggu. Mengingat kesepakatannya dengan Dennis, semestinya ia mempunyai akses yang lebih cepat ke informasi mengenai kasus ini. Ia tidak mau kecolongan lagi setelah tadi pagi ada televisi yang mendapatkan berita kematian Tahar Fassab terlebih dahulu.
"Baiklah, Pak Tua... jika kau tidak mau menjawab panggilanku..." Linda mencari nama lain di daftar kontak telepon selular-nya. Ketika ia menelepon nomor itu terdengar nada tunggu beberapa kali sebelum orang di seberang sana menjawab panggilannya.
Namun sebelum Linda bahkan sempat berkata sepatah, orang itu mendahuluinya, "Akan kukirim sms untukmu dan untuk informasi itu aku ingin 250 dollar..."
Tanpa berpikir Linda menjawab, "Baiklah..."
Lalu, sambungan telepon itu terputus.
Tentu saja Linda tidak dapat mentransfer uang kepada informannya. Itu bisa terlacak dengan mudah. Oleh karena itu biasanya, jika informasi itu setimpal ia akan mengirimkan uang tersebut ke alamat orang itu dengan menggunakan nama samaran. Informan kepolisiannya sudah sering bertransaksi dengannya, mereka hanya perlu saling percaya.
Beberapa menit kemudian ia menerima sms dari informannya. Bunyi sms itu sempat membuatnya kaget padahal ia sudah melakukan antisipasi. Ia merogoh telepon selular dari dalam kantung jaketnya dan membuka sms itu. Ketika membacanya, spontan ia melihat ke arah Rako, alisnya mengkerut, ada raut tidak percaya yang terlihat di wajahnya.
"Ada apa, Linda?" tanyanya, Rako mendekatkan tubuhnya.
Setelah mempertimbangkan, Linda memutuskan untuk memberitahu apa isi sms itu kepada Rako. Pelan-pelan Rako membaca isi sms itu dan Linda bisa melihat perubahan raut wajah kameramannya itu. Terlihat gusar, cemas dan, sama seperti dirinya, tidak percaya.
"Apa info ini bisa dipercaya?" tanya Rako, setelah tertekun sejenak.
"Informanku tidak pernah mengecewakanku sebelumnya. Jika ini benar maka..."
"Itu tidak mungkin benar!" sentak Rako cepat, "Ia tidak mungkin membunuh!" desisnya.
Linda menyilangkan tangannya di depan dada, "Kau baru mengenalnya beberapa hari, Rako. Memangnya apa yang kau tahu tentang dia?"
"Polisi hanya ingin secepatnya menentukan tersangka karena masyarakat sudah resah! Arni tidak mungkin melakukannya!"
"Hei!" Linda membentak. "Apa kau sadar yang baru saja kau ucapkan? Kau ini jurnalis sekarang! Aku tidak tahu sudah seberapa jauh kau dengan si Arni itu tapi kau adalah seorang jurnalis... kau tidak boleh bias!!"
Terlihat frustasi Rako menyusuri rambut gelapnya dengan kedua tangannya, ia berdecak kesal, tampak ingin melakukan sesuatu namun tidak berdaya di saat yang bersamaan.
Tiba-tiba terdengar bunyi sirene mobil polisi yang beriringan memasuki pelataran Rumah Sakit Harmac, disusul dengan serombongan polisi yang keluar dari Rumah Sakit itu. Wartawan langsung mengerubung, namun Linda hanya terdiam di kejauhan, hanya Rako yang bergegas mengambil kameranya dan mendekat. Linda bisa melihat Dennis berjalan dengan pongah, di sampingnya ada seorang pria yang tidak dikenalnya, lalu di belakang mereka beberapa polisi terlihat mengawal seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOSPITAL WARD (M.O.D #2)
Mystery / ThrillerMasa lalu yang mengenaskan menjadi pengantar memasuki lorong-lorong suram Rumah Sakit Harmac. Dimulai dari tiga mayat yang menggantung di bawah langit subuh yang kelabu, Detektif Dennis harus menghadapi seorang pembunuh berantai yang berbeda dari bi...