Bab 23

82 2 0
                                    

Suara heels terantuk ke tanah memenuhi ruangan. Langkah itu berjalan perlahan mengelilingi ruangan. Mata pemilik heels itu menilik satu-persatu foto yang terpajang di dinding.

"Kenapa tidak ada?" Gumamnya. Wajahnya mulai tampak kusut. Suara heelsnya mulai terdengar kembali, tetapi tak melanjutkan mengitari ruangan. Ia duduk di kursi putar milik Albert. Dirinya menunduk menyembunyikan wajah kusutnya dari puluhan mata yang berada dibalik bingkai yang terjajar. Raut kusutnya tak bertahan lama, karena setelah itu matanya tertuju pada laci yang berada di meja. Senyumannya kembali merekah. Ia segera menarik laci hingga laci tersebut terbuka lebar. Di dalam laci terdapat sebuah kotak kayu dengan ukiran kuno.

Alice mengerutkan kening. Ia mengambil benda itu perlahan dan membukanya. Di dalam kotak terdapat kalung yang dihiasi pahatan bintang kecil. "Ini pasti untukku." Alice tertawa kecil sembari menggenggam kalung itu erat-erat.

Tiba-tiba pintu terbuka dengan kencang. Tampaklah beberapa bodyguard berada di ambang pintu. Alice segera menutup laci dan memasukkan kotak sekaligus isinya kedalam tasnya dengan sembarangan.

"Nona, bos meminta kami untuk segera membawa nona keluar dari sini."

"Kalian memberitahunya ya?"

"Itu tidak penting nona. Yang jelas nona harus segera keluar sebelum bos mengusir nona dengan kasar."

Alice tersenyum. Ia berdiri, lalu memungut tas selempangnya. "Tanpa disuruh pun aku akan keluar." Alice menepuk salah satu bahu bodyguard Albert sebelum akhirnya melenggang pergi.

Selama di perjalanan senyumnya tak pudar mengingat kalung ukiran bintang itu sangat indah. Ia yakin Albert sudah mempersiapkan untuk dirinya. Ia mengeluarkan kalung itu dari tas selempangnya. Jika dilihat lagi kalung itu terlihat kuno mungkin umurnya sekitar 1000 tahun yang lalu atau mungkin sebelum masehi, entahlah yang jelas Albert memiliki selera yang tinggi dalam memilih hadiah untuk Alice.

"Pak lebih cepat ya!"

***

Viona memeluk bantalnya dengan erat, mengusahakan agar air matanya tidak jatuh kembali seperti kemarin. Kenapa Albert masih saja berusaha menemuinya. Padahal sejak kemarin ia berusaha tidak membalas pesan dan juga ia tidak membukakan pintu untuk Albert.

Haruskah ia mengikuti kalimat Albert tadi. Menemuinya sebentar saja sudah membuatnya hancur. Apa jadinya kalau beberapa jam bersama pria itu. Viona menenggelamkan wajahnya pada bantal yang ia peluk. Situasi ini. Membuatnya bingung sekaligus terpojok.

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka menampakkan sosok Rosa. Viona tak menyadari kedatangan Rosa, karena wajahnya terbenam.

"Vi, maafin gue." Rosa menunduk. Pasalnya yang membuat Viona menjadi seperti ini adalah dirinya. Tak seharusnya ia memberitahu Viona kemarin. Rosa benar-benar bodoh. Ingin sekali Rosa mencabik-cabik rambutnya sendiri.

Viona mendongak sekaligus terkejut dengan kedatangan Rosa. Viona memeluk sahabatnya itu, lalu menangis sejadi-jadinya. "Ros, lo gak salah."

Rosa membelai helaian rambut Viona perlahan. Rosa tak dapat membalas perkataan Viona, Karena ia sadar kalau Viona hanya tak ingin membuat Rosa ikut terpikirkan masalah yang harusnya Viona selesaikan sendiri. Tidak tidak setidaknya Rosa harus mengembalikan senyuman Viona kembali. Hatinya cukup teriris walau hanya mendengar tangisan Viona, tapi ia harus berbuat apa? Astaga hal ini membuat dirinya sendiri bingung.

Pada akhirnya Rosa mempertahankan posisinya sembari membiarkan Viona mengeluarkan air matanya. Lagipula tak ada salahnya mengeluarkan apa yang seharusnya dikeluarkan, bila tetap dipendam maka juga akan berbahaya bagi psikologis.

Rosa duduk disamping Viona, sambil mengelus-elus bahu Viona. "Maafin gue, Vi. Harusnya kemarin..."

Viona menatap sahabatnya itu dengan tatapan sendu. "Bukan Ros bukan salahmu. Albert datang kerumah pagi ini. Saat aku pulang dari supermarket aku sudah melihatnya ada didepan rumah."

Rosa memperhatikan setiap kalimat yang Viona keluarkan. Ia sempat terkejut dengan pertemuan mereka besok. Jelas saja permintaan yang sangat mendadak.

"Ros menurutmu gimana? Apa aku harus ikut lusa?"

"Menurut gue, lo harus ikut. Mungkin aja lo bakal dapet jawaban dipertemuan itu. Gue yakin kalo pembicaraan itu bakal penting banget, tapi ya semua itu kembali ke diri lo sendiri. Kalo emang hati lo belum siap gak masalah lo juga berhak nolak. Tapi inget satu hal bahwa lo bakal menyesali kalo lo gak ikutin permintaannya suatu hari nanti, Vi."

Viona menunduk. Apa mungkin ia mengikuti perkataan Rosa. Viona harus yakin pada keputusannya sendiri. Viona menarik nafas, lalu menghadap kearah Rosa kembali dan mengeluarkan seulas senyum. "Makasih, Ros."

"Sama-sama, Vi. Turun yuk, hari ini gue bawa makanan." Ajak Rosa. Rosa berdiri dari duduknya dan menarik lengan Viona, agar Viona mengikuti Rosa untuk turun.

Sesampainya di ruang makan Viona dibuat terkejut dengan makanan yang sudah hampir memenuhi meja makannya. Disana ada beberapa macam makanan yang terlihat menarik dan ditengah jajaran makanan tersebut ada tart yang membuat Viona terheran. "Siapa yang ulangtahun, Ros?"

Rosa tersenyum lebar sembari merentangkan kedua tangannya. "Sebuah surprise biar sahabatku ini gak sedih lagi."

Viona tertawa melihat tingkah bodoh sahabatnya itu. Viona duduk di salah satu kursi dan mulai mengambil sendok karena perutnya sudah berbunyi dengan keras. Rosa duduk dihadapan Viona. Mereka makan bersama diiringi gosip seputar teman kampus mereka.

"Vi, lo inget gak sama penjual es yang ada di depan kampus?"

Viona mendongak menatap Rosa dengan tatapan penasaran. "Kenapa emang?"

"Kemarin gue denger kabar kalo dia mau nikah beberapa hari lagi."

Viona tersenyum mengingat akang penjual es itu yang mengaku dirinya jomblo. "Udah lama ya gak ke tempatnya. Udah mau nikah aja." Viona melanjutkan kegiatannya.

Rosa mengangguk-angguk. "Terakhir kali kita ketemu waktu kelas kosong, karena pak Tiyo ijin."

Tak disangka Viona langsung tersedak mengingat kejadian memalukan di trotoar. Pertemuan pertamanya juga dengan Albert lelaki buaya itu. Viona mengambil gelas minumannya dan meminum air tersebut hingga menyisakan sedikit air di gelas tersebut.

"Lo lagi mikirin sesuatu ya?" Tanya Rosa.

"Enggak, gak apa. Aku ke kamar ya, kamu langsung pulang aja gak apa." Viona langsung melenggang pergi.

"Tapikan Vi..." Rosa menghela nafas. Rencananya gagal untuk menghibur Viona. Rosa meletakkan kepalanya keatas meja. "Sial... Sial... Sial... Kau ini bodoh Rosa bodoh... Bodoh... Bodoh."

❤️DESTINY❤️

Di bab kali ini cuma ada 924 kata jadi mohon maaf kalau menurut kalian ini ceritanya terlalu pendek.

Jangan lupa vote💕

Rabu, 6 Januari 2020
19.50

Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang