Bab 6

325 12 0
                                    

Malam hari yang sunyi. Bulan bersembunyi di balik awan, pertanda hujan akan turun. Rumput-rumput yang menari mengikuti sayupan angin yang menyapu. 

Sepasang kekasih berdiri diatas rerumputan. Sedang dirundung kesedihan. Entah kesedihan apa yang mereka alami hingga semesta ikut bersedih. Awan mulai merintikkan tetesan air hujan, tapi mereka tak peduli baju mereka akan basah.

"Jangan tinggalkan aku. Kau milikku selamanya!" Tiba-tiba petir menyambar. Hujan semakin deras. Setelah mengucapkan itu, pria itu memeluk gadis mungil di hadapannya.

Gadis bangsawan itu menikmati pelukan dari pria yang memeluknya. Rasa hangat membuat dirinya nyaman.

Deruan petir terus bersahut-sahutan, membuat malam yang awalnya sepi menjadi
menyeramkan.

Pelukan nyaman itu tak berlangsung lama, ketika sebuah mata pedang menggores punggung sang pria hingga menyebabkan luka dalam. Dan kebetulan sang pria tidak memakai besi pelindung kerajaan hanya setelan baju biasa.

Gadis mungil itu tentu saja kaget dengan kejadian itu. Jantungnya berdebar dengan keras, dan seketika kakinya terasa lemas. Dan tentu saja pria gagah yang sedang mendekap gadis itu tak bisa hidup lebih lama lagi, karena semakin lama pandangannya semakin kabur dan ia tergolek ke padang rumput yang ia pijak. Gadis itu juga ikut terjatuh. Tangisannya menggema di hamparan luas tersebut. Rasa hancur di hatinya semakin mendalam karena ia menyaksikan langsung pria itu ambruk dihadapannya dan ia tak bisa berbuat apa-apa. Hanya rasa sakit yang terasa.

***

Viona langsung terduduk di kasurnya. Nafasnya tersengal-sengal, matanya sembab bekas air mata. Ia menelan ludah berusaha mencerna apa yang ia mimpikan.

Lagi-lagi mimpi itu muncul di mimpinya, tapi kali ini serasa menyedihkan. Anehnya lagi ia tak tahu bagian apa yang menyedihkan. Seperti terbangun dan langsung melupakan kejadian di mimpinya.

Gemuruh petir diluar terdengar kembali. Ternyata di luar sedang hujan deras. Angin dari luar sudah terasa di sekujur tubuh Viona, walaupun pintu balkonnya tertutup.

"Woy... Woy... Serang bego!" Seru seseorang yang Viona tak sadari keberadaannya sejak tadi. Seseorang yang sedang memainkan laptop dengan headset yang menutupi kedua telinganya.

Viona merasa terganggu dengan orang dan suara bising itu. Seketika terbesit pikiran untuk mengganggu Albert yang sedang bermain game online.

Viona menarik bantalnya yang tertata rapi, lalu melemparkannya tepat di kepala Albert yang membuat kata-kata suci keluar dari mulut Albert. "ANJING!?". Ia buru-buru melepaskan headset yang menempel di telinganya dan menatap geram ke arah Viona. "The f..." Albert tak melanjutkan kata-katanya, ia menggeram sembari kedua tangannya meremas kepalanya sendiri. "Gue kalah gara-gara elo!" tuduh Albert. "Bangsat!" umpatnya.

"Lagipula lo ngaca, lo ada dimana hah?" Balas Viona. Ia tak terima ia dituduh begitu saja.

Albert menatap ke arah Viona yang masih terduduk di kasurnya. Tatapannya berubah menjadi bingung. "Lo abis nangis?"

Viona baru sadar kalau dirinya baru saja menangis di mimpi. Ia tak mencuci mukanya dahulu dan langsung mengganggu Albert. Betapa bodohnya ia.

"Gitu doang lo nangis?" ejek Albert.

"Kepo amat sih?"

"Bodo lah, gue mau main lagi!" Albert memasang headsetnya kembali, lalu dengan cepat ia sudah memainkan gamenya lagi.

Viona beranjak dari kasurnya dan langsung berjalan kearah kamar mandi. Rasa kantuk masih terasa, tapi sepertinya ia tak bisa memejamkan matanya lagi. Viona takut kalau mimpi itu muncul lagi.

Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang