Bab 20

122 7 3
                                    

Alice memandangi Albert yang berada di hadapannya. Pria itu fokus pada ponselnya, tak sekali pun mendengarkan pertanyaannya. Apa ada seseorang yang bisa membuatnya serius menatapi ponselnya itu? Alice benar-benar geram dengan Albert.

Albert meletakkan ponselnya di atas meja. Saat itulah mata mereka bertemu. Mungkin ini saatnya untuk Alice mengintrogasi kekasihnya itu. "Chat dari siapa?"

Albert mengerutkan keningnya. "mm?"

Alice berdecak. "Chat dari siapa?" ulangnya.

"Oh, dari klien." Albert menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.

Hanya itu? Alice tetap memandang Albert dengan tatapan mengintrogasi. Berusaha mencari kebohongan dari jawaban pria itu.

Sebuah notif kembali masuk. Alice segera mengambil ahli ponsel pria itu. Albert hanya diam dan memandang gerak-gerik Alice dengan wajah datar.  Gerakkan selanjutnya bisa Albert duga, karena setelah itu Alice memperlihatkan layar ponselnya tepat di depan mata Albert.

"Siapa ini?" tanya Alice berusaha menahan emosinya.

"Sudah kubilang tadi, kalau dia klien." balas Albert dengan santai.

Alice menghela nafas. Ia memalingkan wajahnya sejenak. Bagaimana bisa wanita yang tadi Albert chat dicap sebagai klien? Jika memang klien seharusnya melakukan pertemuan di kantor bukan di tempat lain. Dan lagi seharusnya tidak ada acara jemput-menjemput.

"Jangan berusaha menyembunyikan sesuatu dariku, Al!" Alice memperingatkan. "Kau pasti sudah tau kalau aku bisa melakukan apa saja." lanjutnya.

Kali ini Albert melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku tau itu..." Albert menggantung kalimatnya. Ia memandang keluar jendela menatapi kendaraan yang berlalu lalang. "...tapi kamu yakin bakal tetep ngelakuin kalo aku berkata jujur?"

Alice menurunkan tangannya. Ia meletakkan ponsel Albert kembali ke atas meja. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Haruskah dirinya percaya? Seharunya memang begitu sebagai seorang kekasih. Pada akhirnya Alice menghela nafas lagi.

Seorang pelayan berdiri di samping meja dan meletakkan pesanan Alice. Setelahnya melenggang pergi ke balik dapur.

Alice menyesap jus apelnya. Yang seharusnya menyegarkan, malah membuatnya semakin panas. Ia menatap Albert yang masih memalingkan wajah. Apakah benar dugaannya, kalau Albert sudah tidak memilik perasaan untuknya? Ia ingin kembali melihat isi ponsel Albert, tapi sepertinya suasana tak mendukung sama sekali.

Pandangan Alice berpaling, ia menatap wafflenya tanpa minat. Ia memegang garpu yang berada di pinggiran piring. Kalau Albert bisa cuek, kenapa Alice tidak bisa. Ia memutuskan untuk berusaha tidak memandang pria itu. Alice memotong wafflenya dan memasukkan ke dalam mulutnya.

Tiba-tiba ponsel Albert bergetar membuat pria itu segera mengambil ponselnya. Alice melirik sejenak. Senyuman Albert tertarik yang membuat hatinya serasa dihantam oleh sesuatu. Senyuman,  itu senyuman pertama yang dilihat Alice hari ini. Namun bukan untuk dirinya, melainkan untuk orang lain. Alice sedikit kecewa melihat Albert yang begitu mudahnya tersenyum untuk orang lain.

"Woah benarkah? Iya iya aku akan kesana segera. Ok aku akan membelinya. Tunggulah." Albert memutuskan sambungan. 

Albert bangkit berdiri dan menatap Alice yang masih menunduk, menatap waffle pesanannya. "Aku ada urusan. Pulanglah dengan hati-hati!" tanpa menunggu jawaban Albert segera melenggang pergi meninggalkan Alice sendirian dalam keheningan.

Rasa hampa begitu menjalari dirinya. Tanpa sadar cairan bening mengalir ke pipinya. Jangan menangis, Alice. Batinnya. Pada akhirnya ia tak bisa menghalangi air matanya. Ia menutup kedua wajahnya dengan telapak tangannya. Alice mengeluarkan rasa sakit yang ia rasakan selama ini. Mungkin dengan menumpahkan semua akan sedikit lega. Alice tak peduli lagi dengan beberapa pasang mata yang menatapnya.

Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang