Death

533 83 6
                                    

Sepanjang hidup, belum pernah aku berlari secepat ini. Tanpa mengindahkan petugas jaga, aku memasuki ruang A&E. Kusibakkan tirai dengan cukup kasar. Kasur pasien yang tadi dihuni oleh Charity sudah kosong. Mataku memindai sekitar, mencoba mencari keberadaan Rex. Pria itu juga tidak ada di mana-mana.

Seorang perawat lantas mendekatiku, mempertanyakan bila aku butuh dibantu. Ketika aku tidak kunjung menjawab, Agunglah yang mengambil alih. Dia bertanya bila perawat itu tahu apakah Charity pergi bersama pria yang tadi membawanya ke rumah sakit. Bertepatan dengan itu, kulihat Dokter Ray masuk ke ruangan A&E. Dia tampak syok. Aku bergegas menghampirinya. Seolah tahu apa yang ingin kupertanyakan, pria bermata biru itu langsung mengatakan kalau Rex memaksa Charity untuk menandatangani surat pulang paksa. Meski dokter dan perawat sudah mencoba membujuk Rex, pria itu tetap menyeret Charity pergi.

Dokter Ray tampak masih ingin meneruskan kalimat, tapi aku sudah tak ingin membuang waktu di sini. Nyawa kekasihku sedang dalam bahaya. Setiap zeptodetik yang terlewati akan sangat berharga bagiku. Dan baginya.

Aku hanya berharap aku tidak terlambat.

Tanpa mengacuhkan sesak di dada dan perih sisa pergumulan dengan Rex, aku berlari kembali ke parkiran. Kusentak pintu mobil dengan kasar. Agung mengikutiku dan duduk di kursi penumpang.

"Zach, gue tahu lo lagi panik, tapi lo jangan gegabah waktu menyetir―" Agung terkesiap saat aku memundurkan mobil dengan cepat dan keluar dari rumah sakit tanpa menginjak rem sama sekali. "Nevermind."

Agung menggenggam pegangan di atas jendela erat-erat. Badan kekarnya terombang-ambing. Dia sempat mengumpat ketika kami melewati papan bertuliskan batas kecepatan maksimum.

"Zach, pelanin kecepatan mobil lo! Lo nggak mau kena penalti gara-gara mengebut!"

"Gue bersedia menerima seratus surat penalti atau mengikuti ratusan jam NSAC* kalau itu artinya gue bisa menyelamatkan Charity!"

Aku menginjak pedal gas semakin dalam. Tidak memedulikan jarum speedometer yang bergerak semakin ke kanan. Terus menerobos malam kelam yang dihujani suara klakson bertalu-talu dari pengemudi lain.

Mobilku memasuki kota administratif Solihull, melintasi area Dorridge menuju Hockley Heath. Aku berbelok tajam saat memasuki perumahan Aylesbury Park. Usai melewati beberapa rumah, aku menekan pedal rem. Buru-buru kumatikan mesin dan keluar dari mobil.

Aku baru menutup pintu ketika mendengar suara dentaman dari arah rumah Rex. Saat aku menoleh, jantungku terasa telah kehilangan nyawa. Dadaku seakan dicambuk oleh berbagai ragam perasaan. Ketakutan, amarah, penyesalan berkumpul di relung batin.

Darah sudah menghiasi wajah perempuan itu. Bekas percikan darahnya menempel di kaca jendela. Aku nyaris tak mengenali Charity kalau saja aku tidak menangkap sepasang mata cokelatnya. Netra yang kini menatapku nanar. Kosong. Pasrah. Seolah-olah dia telah menerima takdirnya. Tanpa melepas pandang dari jendela, aku berlari menuju rumah Rex.

Tubuhku lemas seketika saat melihatnya mulai merosot. Di dalam kepala, aku menjerit, mengiba padanya untuk bertahan. Lalu, aku melihat Rex menggapai tubuh mungil Charity dan melemparnya ke dalam rumah. Saat itu juga, akal sehatku pupus ditelan angin malam. Aku menjadi manusia yang hanya berisi sekumpulan amarah.

Aku mendobrak pintu rumah Rex. Apa yang selanjutnya kusaksikan menggerus hatiku yang telah hancur dan menumpulkan indra perasa. Menguras habis jiwa yang ada di dalam tubuhku. Di saat bersamaan, sisi kebinatanganku mengambil alih akal sehat. Monster itu baru berhenti menendang perut Charity yang telah tergeletak lemas di lantai saat menyadari kehadiranku.

Aku berderap ke arahnya, lantas menarik bajunya dan menyeret laki-laki setan itu menjauh dari Charity. Aku tak ingin pria itu menimpa Charity saat aku menghabisinya.

Surviving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang