Care

630 103 0
                                    

Aku mencoba menahan gemuruh di dada saat melihatnya memainkan ponsel di tangan. Tak diragukan lagi. Dia memang sengaja mengabaikan semua pesan dan panggilan telepon dariku. Tidakkah dia tahu aku sangat khawatir saat dia menghilang?

Tenang, Zach, tenang, batinku.

Perlahan aku membuka pintu kafe, lalu berjalan mendekati Charity yang tampak belum menyadari kehadiranku. Kepalanya masih tertunduk. Matanya hanya tertuju pada layar ponsel. Secangkir teh susu di atas meja terlihat sudah lama tidak disentuh sejak dihidangkan.

"Charity," panggilku.

Sontak dia menengadah. Ekspresinya yang penuh harap berubah kecewa dalam waktu sepersekian detik. Baru kemudian, rona di wajahnya memudar cepat.

"Menunggu siapa?" serangku, perlahan mulai menyingkirkan monolog dengan diriku sendiri untuk bersikap tenang. "Rex?"

Tubuhnya langsung kaku saat mendengar satu nama itu keluar dari mulutku. Matanya menjawab pertanyaanku dengan tatapan panik. Seperti seorang anak yang tertangkap basah melanggar aturan.

"Did he call you?"

Charity meremas ponselnya. Tak kunjung mendapat jawaban, kesabaranku mulai menguap.

"Dia meneleponmu sekali saja and here you are. Sementara saya yang menghubungimu berkali-kali malah tidak kamu acuhkan!" Suaraku kian tegas. "Tell you what? He's not gonna come."

Charity menatapku lagi. Tulang rahangnya mengencang. Bibirnya mulai bergetar menahan tangis.

"You don't know that," balasnya lirih.

Mendengar jawaban itu, kesabaranku menguap. Emosi mengalahkan serangkaian rencana yang kususun. Tadinya, aku berencana mengatakan bahwa Rex tidak akan datang, lalu kami akan pulang. Mudah, kan? Aku tidak perlu melibatkan emosi.

Sayangnya, skenario itu gagal. Aku sudah telanjur dikuasai kekesalan.

Aku rela pulang lebih awal karena ingin menemuinya, tapi kemudian, aku malah menemukannya menunggu mantan kekasihnya yang berengsek. Dia memilih membela lelaki itu. Dia rela bersusah payah untuk datang kemari demi laki-laki yang tidak akan datang menemuinya. Perempuan itu bahkan tidak meminta maaf karena mengabaikan teks dan panggilanku!

Tidakkah dia tahu dia pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik daripada mantan kekasihnya itu?! Aku tidak ingin mengatakannya, tapi sungguh dia sangat bodoh!

Hilang sudah keramahan yang selama ini kutunjukkan padanya. Dia baru saja membangunkan Zach yang sebenarnya.

"Oh, I do, Charity. I was there, right in front of your ex's house. He was about to make love to his new girlfriend."

Wajah Charity kian memucat. Kilatan kesedihan terpancar dari matanya yang kecil. Namun, kekesalan sudah tidak mampu kubendung. Rasionalitasku sudah tanggal saat menyaksikan bahwa Charity memilih menunggu Rex. Dia tidak peduli padaku yang mengkhawatirkannya.

"Wake up, Charity. He just fucking stood you up! He doesn't love you!"

Berhenti berbicara, Zach. Don't say it! pinta akal sehatku.

"Don't be stupid!"

Shut the fuck up!

Peringatan yang terlambat. Air sudah telanjur menetes dari mata Charity. Di momen itu, tidak ada lagi yang bisa kusalahkan kecuali diriku sendiri setelah semua kata itu terlontar dengan mudahnya dari mulutku. Ketika melayangkan pandangan ke seluruh penjuru kafe, aku baru menyadari kalau percakapanku dengan Charity tadi bukan saja menjadi milik kami. Semua pengunjung bisa mendengarku mempermalukan Charity. Aku tidak menyalahkan Charity ketika dia memilih berjalan melewatiku begitu saja.

Surviving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang