Ready

695 80 7
                                    

Pelipisku bersandar pada kaca jendela yang dingin. Mataku mengikuti gerakan orang-orang yang berjalan keluar dari gedung ini. Butir-butir air sisa hujan satu jam yang lalu masih bertengger nyaman di kaca. Menemaniku menghadapi kesunyian hampa yang sudah menjadi teman akrabku beberapa hari ini. Aku berusaha menyambut kesenyapan itu dengan lapang dada.

Dari ekor mata, aku melihat seseorang berjalan mendekat. Spontan, aku menegakkan badan. Senyum di wajahnya sedikit banyak mampu mencairkan ketegangan di otot-ototku. Refleks, aku juga merapikan kemeja hitam yang kukenakan.

"She's ready for you, Mr. Lewis," katanya.

Aku mengalihkan pandang ke pintu di hadapanku. Setelah menarik napas dalam-dalam, aku mengambil langkah-langkah kecil memasuki ruangan. Pintu-pintu berjejer di kedua sisiku. Mataku hanya tertuju pada satu pintu yang baru saja ditutup oleh seorang perawat. Aku berhenti sesaat di dekat jendela. Mengamati seorang perempuan yang sedang terbaring di atas ranjang pasien. Kepala perempuan itu terarah ke jendela yang menghadap taman.

Dia baru bangun dari tidur panjang selama tiga hari. Semenjak mendengar detak jantung pertamanya di ambulans, hanya beberapa detik sebelum kami tiba di rumah sakit, aku berikrar untuk tidak meninggalkannya. Kecuali saat aku harus dipanggil ke kantor polisi kemarin.

Aku mengambil cuti selama satu minggu. Agunglah yang membawa seluruh pakaian dan laptopku sebelum dia kembali ke London. Meski sedang cuti, aku tetap meminta Archer mengirimkan revisi-revisi yang dikirim para penulisku. Bila tidak, aku bisa mengalami cemas tak berkesudahan karena terus melihat Charity yang tak kunjung siuman. Belum lagi mimpi buruk yang terus menemani malamku selagi aku berjaga di kamarnya.

Setiap pagi dan sore pula Archer selalu mengunjungiku. Tak jarang dia membawa makanan. Biasanya, dia pun akan menemaniku sejenak sampai jam besuk di sore hari berakhir. Agung juga rutin menanyakan kondisi Charity.

Aku mengetuk pintu sepelan mungkin. Perempuan itu menoleh. Senyum tipis langsung mengembang di wajahnya.

"Hai," sapaku, lalu mengambil kursi dan duduk di sampingnya. "How are you feeling?"

"Better now that you're here."

Dia mengulurkan tangan. Sambil menahan tatapan matanya, aku menghujani tangannya dengan kecupan. Tak ada yang lebih melegakan hati ini dibanding merasakan jemari lentik di tanganku itu bergerak sebagai respons atas ciumanku.

"Apa yang kamu pikirkan waktu itu?"

Gumaman itu lolos begitu saja. Terdengar lebih kencang dari yang kuduga. Buru-buru aku menggeleng. Memintanya untuk mengabaikan pertanyaanku. Di luar dugaan, Charity malah melepaskan tangannya dari genggamanku, lantas mengusap pipiku.

"Kamu berhak tahu, Zach."

"Nggak harus sekarang. It can wait, love."

Charity mengulas senyum dengan susah payah, sebab beberapa bagian wajahnya masih memar dan bengkak.

"Kamu benar," ungkapnya tiba-tiba. "Rex membuntutiku. Dia menemuiku di Aldi. Dia ... tahu tentang Vanessa. Detektif swasta yang dipekerjakannya menelusuri jejakku sampai ke Sussex. Dia tahu semua hal tentang Vanessa. Termasuk siapa mamanya, bagaimana papanya, siapa saja perempuan yang pernah Papa kencani. Dia bahkan tahu wajah adik-adik tiriku.

"Dia mengancamku. Berniat membeberkan kehidupan masa laluku kalau aku nggak mau kembali padanya. Aku bilang kalau aku nggak peduli. Biar saja dunia tahu tentangku. Aku lelah menutup-nutupinya. Tapi kemudian, dia menggunakanmu untuk mengancamku."

Perasaan bersalah seketika hinggap di batinku. Charity tidak peduli bila seluruh dunia tahu tentang masa lalunya, makanya dia bisa menolak Rex dengan mudah. Itu artinya, dia kembali pada Rex hanya untuk menyelamatkanku. Dia berusaha melindungiku dari Rex. Padahal seharusnya, akulah yang melindunginya dari laki-laki berengsek itu.

Surviving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang