Usai mengenakan pakaian olahraga, aku berjalan keluar kamar. Mataku langsung menangkap keberadaan Charity yang sedang terduduk di kursi tinggi sambil menekuri sesuatu di ponselnya. Aku tahu dia juga terbiasa bangun pagi. Hanya saja, biasanya aku yang lebih dulu terjaga karena ingin berolahraga.
"Nggak bisa tidur?" tanyaku sambil mengisi botol dengan air.
Charity hanya bergumam. Pandangannya masih melekat pada layar.
"Sedang membaca apa, sih? Serius banget."
"Resep."
Tiba-tiba dia turun dan melesat ke dapur tanpa kesulitan berarti, seakan kedua kakinya itu berfungsi dengan normal. Dia lewat di belakang punggungku lantas mengecek isi kulkas. Beberapa detik kemudian, dia sudah menginspeksi kabinet. Dia menutup pintu kabinet dengan senyum puas. Tampaknya dia menemukan semua bahan masakan yang dicari.
Charity membalikkan badan. Menatapku yang masih terkesima pada gerakannya yang gesit. Dia mengingatkanku pada salah satu tokoh di pertunjukan Sendratari Ramayana di pelataran Candi Prambanan. Tokoh itu adalah siluman kijang. Siluman itu punya kelakuan seperti Charity. Dia tak bisa berhenti bergerak. Lincah. Namun, menggemaskan dan cantik sampai membuat Shinta meminta Rama memburu kijang itu.
Ya, seperti itulah Charity. Seperti siluman kijang. Tak kenal rasa lelah.
"Saya mau bikin martabak manis. Kamu suka, kan?" tanyanya.
"Saya langsung kehilangan kewarganegaraan Indonesia kalau bilang nggak suka martabak manis."
Charity tergelak. "Saya bikin martabaknya sore nanti, ya, supaya masih hangat waktu kamu pulang." Dia mengerling. "Ini pertama kalinya saya bikin martabak manis. Kalau nggak enak ..., maaf, ya."
Aku membuang napas malas. "Belum mulai, sudah pesimis. Pikiran-pikiran seperti itu yang harus dihilangkan."
Charity hanya mengulas senyum masam sambil melirik botol minumku. "Kamu mau ke gym?"
Aku mengangguk. "Mau ikut?"
"Saya nggak biasa olahraga. Apalagi di gym."
"Ya, kalau begitu, temani saya olahraga saja."
Charity menahan tawa geli. "Tumben minta ditemani. Bukan biasanya kamu suka olahraga sendirian?"
"Ya, sesekali minta ditemani, nggak apa-apa, kan? Lagi pula, saya juga belum sempat mengajakmu berkeliling gedung apartemen. Sayang, kan, kalau kamu sudah membayar sewa, tapi nggak memanfaatkan fasilitas umum di apartemen."
Perempuan itu menekan kedua bibirnya. Dahinya berkerut, tampak mencoba menimbang tawaranku. Lalu, kepalanya tertunduk. Tangannya memainkan kaus oblong yang membalut tubuh mungilnya.
"Saya ganti baju dulu, ya."
Dia lantas menghilang di balik pintu kamar. Sebentar kemudian, perempuan itu keluar dengan busana yang sebenarnya tak jauh berbeda.
"Saya bingung mau pakai baju apa. Begini saja nggak masalah, kan?" tanyanya ragu.
"Nggak apa-apa. Nggak ada dress code buat menonton saya olahraga kok."
Charity terkekeh. Dia mengikutiku ke pintu utama. Aku membawa dua botol minum di satu tangan. Tanganku yang lain menggenggam sarung tinju dan membuka pintu. Charity benar-benar tidak mengalami kesulitan saat menyamai langkahku menuju lift. Meski tak menampik rasa kagum, tetap ada keprihatinan yang menyeruak di batinku.
"Ini bukan pertama kalinya kamu pakai kruk, ya?" tanyaku hati-hati saat kami menunggu lift mencapai lantai unit apartemen kami.
Kepalanya menggeleng pelan. Senyum samar menghiasi wajahnya. Perlahan, sudut bibirnya terangkat kian tinggi seiring dengan gerakan kepalanya yang mendongak untuk menghadapku. Aku melihatnya menggoyangkan kaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surviving You
RomanceThis story contains: - Adult content and situations (21+) - Swearing - Subject matter that you may find offensive and disturbing - Toxic relationship - Graphic violence It is not suitable for younger readers -- Zach, seorang kepala editor penerbit t...