Home

941 79 1
                                    

Langkahku melambat saat menemukan Charity tidak berada di atas ranjang. Sisi protektifku mendesak untuk mengomelinya. Dia belum sepenuhnya pulih, tapi malah melamun sambil berdiri di depan jendela yang menghadap taman. Di sisi lain, aku juga tahu dia pasti bosan berbaring di atas kasur sepanjang hari. Apalagi setelah papanya mengawasinya seharian penuh.

Semenjak kedatangannya tiga hari lalu, Om Edwin rajin mengunjungi Charity dan bergantian jaga denganku selama aku pergi untuk memindahkan seluruh barang Charity dari rumah Rex. Karena Charity tidak memiliki banyak barang, aku hanya membutuhkan waktu satu hari untuk mengemasi dan membawa barangnya pergi. Dua hari sisanya kupakai untuk menyusun perabot dan barang-barangnya. Aku ingin pesta penyambutannya pulang ke rumah berjalan sempurna.

Semuanya semakin sempurna sejak kami mendapat kabar kalau Rex telah ditangkap. Akhirnya, kami bisa bernapas lega. Aku tak perlu lagi mengkhawatirkan keselamatan Charity. Kecuali esok hari saat Charity diperbolehkan pulang. Wartawan dari berbagai media massa masih setia menunggu kepulangan perempuan itu.

Aku mengetuk pintu. Dengan gerakan tangan, Charity mengisyaratkan agar aku segera masuk. Aroma bunga krisan menyapa indra penciuman saat aku memasuki ruangan. Di atas nakas, tiga buket bunga favorit Charity dan Tante Jenn itu sudah dijejer dengan rapi.

Aku menghampiri kekasihku. Tanganku menyelinap di perutnya. Kepalaku bertumpu pada pundaknya.

"Lagi melihat apa, sih?" tanyaku.

Charity hanya mengedikkan dagu ke arah anak-anak yang tengah berlarian di taman belakang rumah sakit. Beberapa pasien mengelilingi taman dengan kursi rodanya. Sementara itu, pasien lainnya memilih duduk sambil menikmati sisa-sisa sinar matahari hari ini.

"Aku bermimpi," ujarnya tiba-tiba.

"Hm? Mimpi apa?"

Dia malah terkekeh. "Jangan lari ketakutan kalau aku cerita, ya."

"Satu-satunya hal yang kutakutkan hanya kehilanganmu lagi, Charity. Come on. What is it?"

Dari pantulan di kaca jendela, aku melihat Charity menggigit bibir. Dia menggenggam tanganku. Untuk mengurai kekhawatirannya, aku mengeratkan dekapan.

"Di mimpiku, kamu bercerita kalau kamu menginginkan empat anak."

Jantungku berhenti berdetak sesaat. Pandanganku langsung berpindah ke Charity. Sudut bibir perempuan itu terangkat. Pipinya merona.

"Kamu juga bilang, kalau aku pengin punya keluarga kecil, kita bisa punya dua anak saja. Asal jangan satu karena kita sama-sama tahu―"

"Nggak enaknya jadi anak tunggal." Aku menyela. "Itu bukan mimpi, Charity."

Spontan, kepala Charity berputar hingga ujung hidung kami bersentuhan. Sorot matanya meminta penjelasan. Aku mengulas senyum. Sejenak menikmati kelegaan yang merambahi dada.

"Kamu nggak bermimpi. Aku memang benar-benar mengatakan hal itu saat kita sedang berada di ambulans," jelasku. "Aku juga bilang kalau kamu mau, kita bisa tinggal di rumah di Hintlesham Avenue yang sempat kita lihat. Kita bisa membangun keluarga dan bisnis kateringmu di sana."

"Termasuk janjimu untuk menjadikan rumah itu kantor―"

"Bisnis katering masakan Indonesia terbesar di Birmingham," sambungku.

"Kalau aku nggak sanggup bertahan," imbuhnya.

"Well, karena kamu bisa bertahan, artinya kita berdua bisa mewujudkan mimpimu itu bersama-sama." Senyumku kian lebar. "Dimulai besok saat kamu keluar dari rumah sakit."

Charity mengangguk mantap, tetapi lama-kelamaan gerakan kepalanya itu menjadi ragu. Garis-garis pertanda kebingungan mulai terbentuk di dahinya. Tiba-tiba dia terkesiap. Seperti seseorang yang baru saja menyadari sesuatu.

Surviving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang