A Piece of Her Past

555 96 8
                                    

Malam sudah datang saat aku kembali ke apartemen. Lampu di dalam unit apartemen belum dihidupkan. Meski demikian, aku dapat merasakan keberadaan Charity di sini.

Aku menyalakan lampu sebelum berjalan menuju ruang tamu. Tak ada Charity. Ketika menoleh ke arah pintu kamarnya, aku mendapatinya terduduk di balkon yang berada di seberang dapur.

Aku mengumpulkan keberanian untuk mendekatinya. Jantung berdegup kian kencang saat aku mendekati pintu geser. Kepala Charity menghadap pemandangan di depan balkon, sehingga dia tidak menyadari kedatanganku. Kruk Charity bersandar di langkan. Kakinya yang masih dibalut perban elastis diletakkan di atas kursi di hadapannya. Tiga botol bir berjejer di atas meja. Tangan perempuan itu masih menggenggam satu botol lagi.

Meski sudah mencoba mengetuk pintu kaca sepelan mungkin, suara yang kuciptakan itu tetap memeranjatnya. Dia menoleh, memperhatikanku yang berjalan memasuki balkon.

Charity berusaha membenahi posisi duduk. Sebelum dia sempat menarik kaki, aku menahan gerakannya. Usai menempati kursi di depannya, aku memangku kakinya di atas pahaku. Aku menepuk tulang keringnya. Mengisyaratkan pada perempuan itu bahwa aku tidak keberatan menjadi sandaran untuk kakinya.

"Tough day?" tanyaku sambil melirik botol bir di tangannya. "What happened?"

Charity menatapku nanar. "I have a confession to make, Zach." Dia membuang napas panjang sebelum melanjutkan. "Saya bohong waktu bilang nggak punya keluarga."

Aku tidak berkomentar walaupun beragam skenario tentang hubungan Charity dengan keluarganya mulai bermain di dalam pikiranku. Aku menduga ini ada kaitannya dengan pria paruh baya yang berdandan rapi di restoran tadi.

"Mama saya memang sudah meninggal lima tahun lalu karena gagal ginjal waktu saya berumur dua puluh satu tahun. Tepat setelah saya menamatkan studi S1. Tapi sebenarnya, saya masih punya papa. Papa meninggalkan saya dan Mama saat saya berusia delapan belas tahun."

Charity mengangkat botol bir. Menenggak isinya cepat-cepat. Aku berusaha meraih botol itu dari tangan Charity. Namun, dia mengelak dan terus meneguk minuman beralkohol itu. Akhirnya, aku pun berdiri. Tanganku memegang belakang kepala Charity. Perlahan menundukkan kepala perempuan itu agar aku bisa mengambil botol tanpa perlu membuat isinya berceceran di wajahnya. Aku berhasil merebut botol itu dan melemparnya ke dalam tong sampah.

"Cukup, Charity," pintaku.

Charity hanya menatapku. Air mulai membasahi matanya. Tubuh mungilnya bergetar hebat. Dalam hitungan detik, dia menumpahkan tangis di dalam telapak tangannya. Melihatnya begitu rapuh membuat dadaku terasa sesak.

Aku berlutut di hadapannya. Membelai lengan kecilnya. Setidaknya dengan begini, dia tahu bahwa aku ada di sini. Bahwa aku tidak akan ke mana-mana.

Setelah beberapa menit, tangisnya mereda. Dia menurunkan tangan. Menyingkap wajahnya yang memerah dan basah. Beberapa helai rambutnya ikut tersangkut di sana. Aku segera menyelipkan rambut itu ke belakang telinganya.

"Saya nggak tahu apa yang terjadi," ujarku. "Tapi, saya mau kamu tahu kalau saya ada di sini untuk kamu."

"Kamu nggak marah sama saya?"

"Kenapa saya harus marah?"

"Karena saya sudah berbohong." Dia menundukkan kepala. "Saya bisa saja minta izin Papa untuk membiarkan saya tinggal sementara di rumahnya sampai saya mendapatkan tempat tinggal. Tapi, saya malah merepotkan kamu. Saya hanya ... nggak mau kamu berpikir kalau saya memanfaatkan kamu."

Aku mengangkat dagu Charity. "Saya nggak kepikiran hal itu sama sekali. If anything, I'm glad you trusted me enough to help you. Saya juga yakin kalau kamu punya alasan kuat kenapa nggak mau tinggal bersama papamu. Tell you what? I also have a confession to make."

Surviving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang