Kami memutuskan pulang lebih awal karena aku telanjur kehilangan nafsu makan sejak insiden dengan penggemar tadi. Kami bahkan tidak banyak berbicara sampai keluar restoran. Permintaan maaf dari pelayan dan tawaran diskon untuk kunjungan selanjutnya pun tidak kugubris. Justru Charity yang menerima voucher dari si manajer.
Tak hanya mengacaukan malam Charity, aku juga mendiamkannya, seolah dia penyebab rusaknya suasana hatiku. Meski begitu, dia masih meladeniku dengan begitu sabar. Menyuguhkan senyum manis walau hanya kubalas dengan senyuman seadanya. Dia selayaknya seorang ibu yang memaklumi anaknya yang tengah melempar tantrum. Sikap pengertiannya itu tak ayal melipatgandakan perasaan bersalahku.
Kesenyapan masih mengikuti sampai kami tiba di apartemen. Begitu pun dengan rasa bersalah yang merayapi batin. Sebelum berlalu, Charity menatapku sekilas sambil mengucapkan terima kasih dan selamat malam. Tampaknya dia masih ingin memberiku ruang untuk meredakan emosi. Namun, aku tidak menyukai jarak yang tercipta di antara kami. Di setiap detik yang terlewati, aku justru merasa semakin jauh darinya.
Akhirnya, aku memutuskan untuk mengakhiri aksi kekanakanku ini. Aku memanggilnya. Dia berbalik menghadapku. Sepasang mata cokelatnya turut menyapaku dengan sorot teduh. Sorot yang langsung menghentikan gelombang amarah yang merangkak naik dan menggantinya dengan taburan kedamaian ke seluruh tubuhku. Perlahan, segala kekesalan yang kurasakan menguap tanpa jejak.
Aku memangkas jarak fisik di antara kami. Ujung sepatu kami nyaris bersentuhan.
"Maaf, ya, saya bikin malammu kacau," ucapku lemah.
Senyumnya mengembang. Tatapannya maklum. Benar-benar tidak terganggu dengan tingkahku yang menyebalkan.
"Nggak apa-apa, Zach. Saya paham. Saya yang sudah cukup sering berhadapan dengan situasi seperti itu saja juga masih suka kesal. Apalagi kamu." Dia terkekeh sambil mengelus lenganku. "Saya buatkan cokelat hangat, ya."
Sebelum perempuan itu sempat bergerak, aku meraih lengannya. Perlahan, aku membawa badannya menghadapku lagi. Malam ini mungkin tidak berjalan sesuai rencana. Meski harus mengalami kejadian tidak mengenakkan, bukan berarti kami harus menutup malam dengan membawa kekesalan, kan?
"Next dinner, I promise I'll do better," janjiku selagi membelai pipinya.
"There will be another dinner? Like a second date?"
Aku mengangguk mantap. "Second date, fifth date, 159th date ..., saya akan sering-sering membawamu kencan sampai kita sudah nggak bisa menghitung jumlah kencan kita lagi. Kalau perlu, saya sewa satu restoran supaya nggak ada yang bisa mengganggu."
"Berlebihan."
Aku mengangkat sebelah bahu sekilas. "Saya hanya pengin memberimu kencan terbaik setiap kali kita pergi bersama. Nggak berlebihan, kan?"
Tawa geli terbebas dari mulutnya. Tawa yang tak pernah gagal membuatku terkelu. Mekanisme refleks tubuh mendorongku melangkah mendekat, melenyapkan jarak di antara kami. Mataku hanya tertuju pada satu titik. Pada bibirnya yang mengeluarkan sisa-sisa tawa. Tawa yang sangat ingin kucicipi.
Aku sudah kesulitan berpikir jernih. Tubuhku mulai digerakkan oleh insting. Baru ketika hidung kami bersentuhan, aku mengingat satu hal krusial.
"Boleh?" bisikku, meminta izin.
Jawabannya keluar dalam bentuk anggukan pelan. Meski sudah mendapat persetujuan, aku tetap mengambil langkah hati-hati. Memastikannya nyaman dengan keintiman kami.
Lalu, bibir kami bertemu. Selama beberapa detik, kami masih diam. Aku menyelami kelembutan bibirnya. Meresapi ledakan euforia di sepanjang saraf. Menikmati rasa ketika akhirnya asa telah menjadi nyata karena selama ini, aku hanya mampu membayangkan bagaimana rasanya menjejak bibirnya dengan bibirku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surviving You
RomanceThis story contains: - Adult content and situations (21+) - Swearing - Subject matter that you may find offensive and disturbing - Toxic relationship - Graphic violence It is not suitable for younger readers -- Zach, seorang kepala editor penerbit t...