Safe

560 87 1
                                    

Aku tidak membiarkan Rex hidup tenang. Setiap pagi sebelum ke kantor dan malam usai pulang bekerja, aku mendatangi rumahnya dan mengecek keadaan Charity. Lama-kelamaan, pria itu semakin mempersulit diriku menemui Charity. Tak kehabisan akal, malam ini, aku langsung memaksa masuk. Aksiku itu menyulut emosinya. Adegan tarik-menarik tak terelakkan. Makian keras terlontar dari mulut masing-masing hingga kami tiba di dapur.

Aku mengedarkan pandang sekilas ke dapur. Ruangan ini luas. Warna putih yang dominan membuat suasana dapur menjadi lebih terang. Jendela lebar yang mengelilingi setengah dapur menyajikan pemandangan serba hijau. Peralatan masak mutakhir terpasang di area memasak. Dapur ini persis dengan yang diidam-idamkan Charity selama ini.

Berdiri tepat di tengah ruangan adalah kekasihku. Walau hanya berdiri kikuk di sana, perempuan itu tampak begitu menawan. Tampak pas berada di tempat seperti ini.

Aku tidak meminta izin pada Rex dan langsung membimbing Charity ke pintu depan. Tangan lelaki itu sudah hampir menggapai Charity, tapi aku lebih sigap. Kubentengi Charity dengan badanku. Dengan tangan di punggung Charity, aku menuntun perempuan itu keluar.

"Zach, aku mohon. Berhenti menemuiku," pintanya sambil memutar badan.

Aku tidak menutupi nada khawatir saat bertanya. "Apa dia memukulmu?"

"Aku bosan mendengarmu bertanya hal yang sama setiap kali kamu datang."

"Jawab pertanyaanku, Charity," tuntutku.

Charity terdiam sejenak. Sorot matanya meredup. Bukannya menjawab pertanyaan, dia malah kembali mengiba. "Kumohon. Berhenti menemuiku."

"Aku nggak akan berhenti menemuimu. Aku perlu tahu kalau perempuan yang aku cintai baik-baik saja."

Air mulai menggenangi pelupuk matanya. Mata yang menyimpan sejuta makna yang tak mampu kuuraikan.

"Terkadang, cara terbaik untuk mencintai seseorang adalah dengan melepaskannya. Karena kamu tahu kamu hanya akan melukai pasanganmu bila kalian terus bersama. Karena kamu tahu bahwa kehadiranmu hanya akan membuatnya terus tersakiti," balasnya lemah.

Dahiku sontak berkerut. Jantungku seolah jatuh ke perut. Tubuhku lemas seketika.

"Apa aku pernah menyakitimu?" tanyaku parau.

Aku tahu sikapku yang terkadang terlampau protektif bisa membuatnya jengah. Namun, aku tidak akan pernah berhenti berusaha menjadi pria yang lebih baik untuknya dan memberikan kebebasan yang selalu diidam-idamkannya. Dia tahu aku berusaha melawan keegoisanku. Apakah semua itu tak ada artinya?

Charity tidak menjawab. Iris matanya menyuarakan beragam rasa. Di balik tatapan sendunya, ada ketakutan yang tak diucapkannya. Aku terus memutar memori. Mencari-cari momen ketika aku pernah melukai perempuan yang kucintai ini.

"Katakan kapan aku pernah menyakitimu." Aku melangkah mendekat.

Perempuan mungil di hadapanku itu menghindar. Mengambil langkah mundur sambil memeluk lengannya. Kepalanya sempat menengok ke belakang sesaat. Terlihat seperti orang yang takut tertangkap basah. Gerak-geriknya ini tampak tidak wajar. Membuatku kian gundah. Dia semakin kesulitan menyembunyikan kecemasan. Dia terlihat lebih takut pada apa yang menantinya di dalam rumah. Bukan padaku.

"Please, just leave," ibanya sambil berbisik.

Alih-alih menurut, insting menggugahku untuk mendesaknya. "What happens if I don't want to leave?"

Mata perempuan itu membola saat mendengar pertanyaan jebakan itu. Tatapan horornya semakin menjadi-jadi. Detik itu, aku tahu sesuatu pasti akan terjadi padanya bila aku tidak kunjung pergi. Kesadaran itu membawa seluruh ingatan tentang semua interaksiku dengan Charity setiap kali aku datang. Sekonyong-konyong aku mematung. Dia memang selalu waswas bila aku mengunjunginya. Gelagatnya ini tidak pernah berubah. Bahkan semakin parah.

Surviving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang