Sesuai janji, aku membawa laptop cadangan ke hotel. Lorong hotel masih sepi. Belum ada petugas kebersihan yang berkeliling untuk membereskan kamar. Wajar saja, mengingat sekarang masih pukul tujuh pagi. Sebenarnya, aku bisa saja menitipkan benda ini ke resepsionis, tapi rasanya akan lebih sopan bila aku mengantarkannya langsung ke kamar Charity.
Sesampainya di depan kamar Charity, aku mengetuk pintu. Sebentar kemudian, pintu terbuka, menampakkan Charity yang terlihat jauh lebih segar. Rambutnya diikat di belakang kepala, sehingga wajahnya terlihat lebih jelas. Dia masih mengenakan bathrobe. Seketika itu juga, aku merasa tidak enak hati.
"Maaf, apa saya datang terlalu pagi?" tanyaku cemas.
Senyumnya merekah. Lebar dan cerah. Kalau mengingat kekeraskepalaannya, tidak akan pernah kusangka perempuan ini mempunyai senyum yang bisa membangkitkan semangat.
"Ah, nggak kok." Dia mencoba membuka pintu lebih lebar. Refleks tanganku menahan pintu. "Ayo, masuk."
Dia mendahuluiku. Baru beberapa langkah, deretan piring di atas meja menyita perhatianku.
"Kamu belum sarapan, kan? Temani saya makan, ya." Dia kembali menyuguhkan senyum cerah yang menyilaukan.
Di hadapan kami sekarang sudah tersedia piring-piring berisi berbagai makanan. Croissant, sosis, kentang goreng, toast, panekuk, omelet, dan buah-buahan. Satu cangkir berisi teh dan dua cangkir kopi menemani jamuan sarapan ala Charity.
"Banyak juga makanmu," komentarku seraya duduk di samping Charity. "Sarapan sudah kayak pesta saja."
"It's the least I could do after last night. And to start over."
Melihatnya sedekat ini membuatku kesulitan menahan diri untuk memujinya. Diterpa cahaya matahari yang menembus tirai tipis di jendela, mata cokelatnya terlihat semakin terang. Semakin menarikku menjauh dari realita.
Dia memiliki wajah yang sebenarnya cukup ramah. Walaupun dia terlihat selalu berusaha memberi jarak dengan lawan bicaranya, aku masih bisa merasakan kehangatan yang terpancar dari caranya menatapku.
"Saya nggak tahu kamu biasa minum kopi atau teh, jadi saya pesan dua-duanya," ucapnya, mengenyahkan aliran hipnotis yang menguasai tubuhku. Kini, dia sudah menghadap meja.
"I'm a coffee person."
"Krim? Susu? Gula?" tanyanya. Tangannya bersiap mengambil bahan-bahan penambah itu.
Aku menggeleng kencang. "No. I like it black and strong."
Charity menggeser pandangannya padaku. Bola matanya memindaiku. Ekspresinya tidak mampu kuartikan.
"Kamu tahu apa yang orang-orang bilang tentang penikmat kopi hitam?"
"Mereka antisosial dan psikopat," jawabku santai usai menyesap kopi hitam. Aku mengunci tatapan Charity. "Tapi, kamu tahu penelitian itu nggak valid, kan?"
"Kalau menurut saya, penelitian itu ada benarnya, sih." Giliran Charity yang meminum isi cangkirnya. "Karena saya antisosial."
Baru detik itu, aku menyadari kalau Charity juga sedang meminum kopi hitam. Bungkusan krim dan gula tidak disentuhnya sama sekali.
"Kalau antisosial, kamu nggak akan mengundang saya sarapan sama kamu di sini."
Charity mengangkat alisnya. "Jangan terlalu senang. Saya hanya mau mentraktir kamu sekali ini saja."
"Nggak masalah. Saya bisa gantian membawa sarapan besok." Aku mengambil jeda, sementara mataku mengamati lengkungan tipis di bibirnya. "Ngomong-ngomong, apa rencanamu hari ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Surviving You
RomanceThis story contains: - Adult content and situations (21+) - Swearing - Subject matter that you may find offensive and disturbing - Toxic relationship - Graphic violence It is not suitable for younger readers -- Zach, seorang kepala editor penerbit t...