Semerbak wangi manis menyambutku begitu aku memasuki unit apartemen. Kakiku langsung mengambil langkah cepat menuju dapur. Saat itu juga, Charity menyapaku.
Aku berhenti tepat di ujung dapur. Menyaksikan beberapa perkakas dapur sudah tersebar di area memasak. Mataku lantas mengamati setiap gerakan Charity. Dengan lincah, perempuan itu membalik adonan panekuk setengah matang di atas penggorengan. Kulirik jam dinding. Baru pukul enam lewat lima menit. Persis satu jam setelah aku meninggalkan apartemen untuk berolahraga di sasana kebugaran.
"Morning," sapanya riang.
Dia bertumpu pada kakinya yang sehat untuk mengambil piring di kabinet atas tanpa kesulitan berarti. Charity sangat mudah beradaptasi dengan kondisinya. Sehari yang lalu saja, dia bisa menaiki kursi tinggi tanpa bantuanku sama sekali. Namun, ya, mungkin ini juga bukan pertama kalinya dia memakai kruk.
"Sepertinya kamu terlalu memaksakan diri," protesku sambil menghampirinya.
"Memasak pancake nggak sulit."
Charity menengadah. Tanpa sepatu berhak, puncak kepala perempuan ini hanya sebatas dadaku. Mendadak pipinya bersemu. Dia lantas memalingkan muka.
"Zach?" gumamnya.
"Ya?"
"Hm, mungkin kamu mau beres-beres dulu?"
Aku menurunkan pandangan ke pakaianku. Kaus olahraga tanpa lengan itu melekat erat di bagian depan tubuh karena keringat. Indra penciumanku mencoba menghirup aroma tidak menyenangkan yang menguar dari tubuhku.
"Kenapa? Saya bau, ya?"
Charity menggeleng. "Kamu mendistraksi saya."
Perempuan itu memainkan spatula di pinggiran panekuk. Kepalanya tertunduk semakin dalam. Kentara sekali sedang menghindari kontak mata denganku.
Menggoda perempuan sesungguhnya bukan kebiasaanku. Namun, entah mengapa aku tidak bisa menahan diri untuk menggoda Charity ketika dia bersikap malu-malu seperti ini.
"Saya suka pancake yang sedikit crispy, sih. Jadi, kalau gosong sedikit juga nggak masalah."
Masih menunduk, Charity mengerling. "Mana enak crispy pancake? Aneh-aneh saja."
Aku menyandarkan pinggul di ujung meja. Lenganku bersilang di depan dada.
"Enak. Belum pernah bikin, kan? Coba deh. Saya tungguin di sini."
"Zachary."
Suara penuh peringatan itu melepas gelak tawa dari mulutku. Namun, Charity tidak terlihat ingin bergabung tertawa bersamaku. Akhirnya, aku mengangkat tangan dan berjalan mundur.
"Iya, iya. Saya mandi dulu."
Aku membalikkan badan dan menghilang di balik pintu kamar. Hanya saja, bayangan wajah Charity yang memerah enggan minggat dari dalam kepalaku, bahkan sampai aku selesai mandi. Kalau mengingat sifat keras kepalanya, aku tidak akan pernah menyangka perempuan itu bisa jadi menggemaskan saat sedang salah tingkah.
Dulu, aku tidak pernah berani berharap bisa memikat perempuan dengan bentuk tubuhku. Selepas sekolah dan pindah ke Birmingham, aku sempat tidak percaya diri dengan tubuh kurusku. Lalu, bersama teman-teman kuliah, kami berikrar untuk membentuk badan agar terlihat atletis.
Sekarang, aku sudah cukup puas dengan perut rata yang dihiasi pahatan tipis, dada bidang, dan otot lengan hasil latihan kickboxing rutin. Aku tidak perlu khawatir pada bagaimana tubuhku terlihat bila sedang dibalut dengan kemeja ketat. Hanya saja aku berharap bisa "menyempurnakan" kesan maskulin dengan cambang. Sayangnya, rambut tumbuh sangat tipis dan jarang di wajahku. Satu-satunya kumpulan rambut tebal yang kumiliki di tubuhku hanyalah di puncak kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surviving You
RomansaThis story contains: - Adult content and situations (21+) - Swearing - Subject matter that you may find offensive and disturbing - Toxic relationship - Graphic violence It is not suitable for younger readers -- Zach, seorang kepala editor penerbit t...