A Surprise Visit

629 93 9
                                    

Tumpukan pekerjaan tidak mampu mengalihkan fokusku dari Charity dan apa yang terjadi pagi tadi. Tawa renyahnya saat bercengkerama dengan Soren masih mengusikku. Rencananya untuk pindah terus menghantui pikiranku seharian ini.

Di tengah lamunan, ekor mataku menangkap gerakan seseorang. Sosok itu berjalan semakin dekat ke ruanganku. Tangannya hampir mengetuk pintu kantorku yang terbuka saat aku melihatnya lebih dulu. Senyum tipis langsung tersungging di wajahnya.

"Hey," sapanya sambil berjalan masuk setelah aku menyuruhnya mendekat. "Long time no see. Apa kabar lo, Zach?"

Dia adalah Agung. Pria itu berdiri di depan mejaku dengan―well, sesuai dengan namanya―agung. Tinggi dan gagah. Ototnya menonjol di balik kemeja lengan panjang yang ketat. Tidak sia-sia kerja kerasnya di pusat kebugaran.

"Gue baik, cuma lagi banyak kerjaan aja. Lo?"

"Gue baik juga."

Aku dan Agung saling mengenal ketika aku baru memasuki dunia perkuliahan. Dia adalah mahasiswa tingkat akhir yang juga menjadi tutor mahasiswa-mahasiswa internasional angkatan baru. Tugas utamanya kala itu membantu kami beradaptasi dengan situasi perkuliahan dan budaya baru.

Kebetulan Agung adalah tutorku. Dari seluruh anggota kelompok kami, hanya aku dan Agung yang masih sering berkomunikasi hingga saat ini.

Agung pulalah yang berperan besar dalam karierku di Blue Ink. Dia yang memberi rekomendasi agar aku bisa masuk ke Blue Ink Birmingham untuk kerja magang. Sayangnya usai magang, belum ada lowongan pekerja tetap sampai aku lulus kuliah. Hingga akhirnya, aku pun bekerja di penerbit lain di London.

Dialah yang memberitahuku tentang posisi editor-in-chief di cabang Blue Ink Jakarta yang kosong. Tanpa pikir panjang, aku menerimanya dan melepas karierku di London. Setahun kemudian, Agung menawarkan posisinya sendiri sebagai kepala editor di Blue Ink Birmingham padaku. Dia berniat mengundurkan diri dan mengejar karier sebagai pemimpin redaksi di sebuah surat kabar besar di London.

Baik aku dan Agung sama-sama sibuk. Kalau membuat janji temu, biasanya kami akan memilih sore atau malam. Jadi, kehadirannya yang mendadak di kantorku siang ini membuatku bertanya-tanya. Pertanyaan itu tidak aku biarkan tersimpan di dalam benakku terlalu lama.

Seketika itu juga, ekspresi Agung berubah lebih serius. Keramahannya memudar. Dia lantas mengambil satu amplop dari dalam tas. Tangannya merogoh isi amplop dan meletakkan setumpuk kertas dan foto di hadapanku.

"What's going on between you and Charity Kusuma, Zach?" tanya Agung sembari mengedikkan dagu untuk memintaku melihat dokumen yang dia berikan.

Dokumen paling atas menampakkan fotoku dengan Charity di depan kedai tempat dia seharusnya bertemu dengan Rex. Di bawahnya, ada foto-foto lain ketika aku sedang melampiaskan kekesalan pada Charity di dalam kedai kopi itu. Lalu, ada potret ketika aku membantu Charity masuk mobil. Yang paling mengejutkan adalah foto mobilku yang memasuki parkiran gedung apartemen.

"Lo membuntuti gue?" serangku.

"Reporter gue."

"Lalu, lo diam saja dan membiarkan dia membuntuti gue dan Charity?"

Agung menghela napas berat. "Dia cuma melakukan tugasnya."

"Tugas?! Lo bilang membuntuti orang itu tugas? Sinting lo! Lo tahu, kan, ini namanya menguntit, memata-matai, invasion of privacy. Kami bisa melaporkan hal ini kalau kami nggak suka. Asal lo tahu, gue sudah nggak suka dengan cara lo dan reporter lo yang kayak begini."

"Makanya itu gue ke sini, Zach," sanggahnya sambil memajukan kursinya semakin dekat dengan meja. "Karena ini melibatkan lo, jadi gue ke sini buat klarifikasi langsung ke lo."

Surviving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang