Charity menampakkan diri di hadapanku dengan senyum lebar. Dia menyapaku dengan riang. Alih-alih membalas sapaannya, aku malah kerepotan meneguk ludah saat melihat pakaianku melekat di tubuhnya. Kemeja hitam yang dikenakannya itu memang favoritku, tapi sepertinya aku lebih suka kalau Charity yang memakainya.
Dengan tertatih, Charity menggeser tubuh, memberiku ruang untuk masuk. Kami berjalan sampai ke ruang tamu. Di depan meja, Charity berbalik untuk menghadapku. Sinar jingga mentari yang memaksa masuk dari jendela memberi kesan melankolis pada wajahnya. Seulas senyum lebar membuatnya terlihat kian cantik.
"Sudah tenang setelah memastikan saya masih di sini?" guraunya, sontak menyadarkanku pada tujuanku menemuinya sore ini.
Aku merogoh tas satchel milikku saat menduduki kursi di sampingnya. Lalu, aku meletakkan koran di atas meja. Kolom review yang ditulis Charity terpampang di depan.
"Kamu sudah tahu siapa saya waktu saya memberimu kartu nama, kan? Kapan rencananya kamu kasih tahu saya?"
Mendengar itu, Charity menggulung bibir ke dalam. Terlihat mencoba menutupi senyum. Percikan kepuasan memenuhi iris matanya. Dia benar-benar menikmati permainan kecilnya ini.
"Saya memang nggak punya rencana memberitahumu. Saya menunggu kamu sadar saja."
Aku hanya menggeleng. "Jadi, ini pekerjaanmu. Mengkritik buku habis-habisan―"
"Mengkritik dengan jujur," potongnya. "Pekerjaan saya menjadi satu-satunya tempat di mana saya bisa mengutarakan isi pikiran dan pendapat dengan jujur."
Aku tertegun. Benar-benar tidak berpikir hingga sejauh itu. Hidup bersama Rex pasti membuatnya terkekang. Salah bicara sedikit saja mungkin akan membuat Charity dihukum berat. Aku tidak ingin membayangkan bagaimana laki-laki itu menyakiti Charity atau rintihan tertahan perempuan itu saat Rex memukulinya.
"Nggak seberat itu kok, Zach," ucap Charity tiba-tiba, mengacaukan pikiranku yang berkelana jauh. "Hidup saya sama Rex nggak seberat itu. Dia jarang di rumah karena urusan pekerjaan―"
"Hanya karena jarang, bukan berarti tindakannya itu bisa dimaafkan," potongku tegas. Aku memang dianugerahi wajah tanpa filter, jadi aku tahu Charity pasti bisa melihat kekesalanku dengan jelas. "Cinta bukan alasan untuk membenarkan hal yang salah. Yang saya tahu, cinta itu tidak menyakitkan dan menyakiti. Meski kamu tidak bisa bersama orang yang kamu cintai, meski dia tidak memilihmu untuk mendampinginya seumur hidup, melihatnya bahagia akan tetap terasa melegakan untukmu. Kalau ada cinta yang membebaskan seperti itu, kenapa kamu mencari cinta yang menyesatkan? Saya pernah membenarkan semua cara atas nama cinta. Trust me, you don't want to do that."
Aku mengambil jeda. Menanti respons Charity. Perempuan itu tidak menanggapi, tapi juga tidak menghindar saat aku memanggilnya.
"Maaf, kalau saya terdengar menggurui. Kamu bisa mendengarkan atau menganggap saya nggak pernah mengatakan itu. It was only a piece of advice."
Di luar dugaan, Charity menyuguhkan senyum lebar. Sorot matanya teduh saat dia mengucapkan terima kasih. Padahal sebelumnya, aku mengira dia akan melempar kata-kata pedas tentangku yang sok tahu.
Tidak ingin membuat suasana menjadi canggung, aku memilih untuk mengalihkan pembicaraan. Aku menunjuk laptopnya, mempertanyakan bila dia menemukan unit apartemen kosong. Perempuan itu menggeleng lemah. Prediksi kami benar. Banyak apartemen yang sudah tersewa.
"Apa kamu nggak punya keluarga atau teman yang bisa membantumu?" tanyaku tanpa berpikir.
Aku tahu pertanyaan itu cukup personal. Tidak seharusnya aku menyodorkan rasa ingin tahu seperti itu. Dia pun memilih menghindari kontak mata. Aku berpikir dia mengabaikan pertanyaanku. Lalu tiba-tiba, dia bersuara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surviving You
RomanceThis story contains: - Adult content and situations (21+) - Swearing - Subject matter that you may find offensive and disturbing - Toxic relationship - Graphic violence It is not suitable for younger readers -- Zach, seorang kepala editor penerbit t...