Epilogue

1.5K 121 32
                                    

"Charity, terima kasih karena bersedia melakukan wawancara eksklusif ini bersama saya," ucap Agung. "Saya tahu, membicarakan tragedi traumatis itu nggak mudah untukmu. Kamu bisa berhenti bercerita kapan saja. Kita bisa melanjutkannya lagi ketika kamu sudah merasa siap."

Charity mengangguk. "Saya sudah siap berbicara tentang hubungan saya dan Rex. Saya rasa waktu dua tahun sudah cukup bagi saya untuk mempersiapkan diri. Sekarang, setelah dia mendapatkan hukuman atas perbuatannya, saya nggak merasa takut lagi. Rex adalah bukti bahwa perempuan seperti saya yang mengalami kekerasan memiliki harapan untuk mendapatkan keadilan. Karena pada akhirnya saya juga bisa melewati semua itu dan masih bisa hidup hingga detik ini, saya merasa memiliki tanggung jawab untuk memperingatkan semua orang―baik laki-laki maupun perempuan―sebelum mereka terjebak di dalam hubungan yang salah. Saya merasa memiliki tanggung jawab untuk mendukung mereka menyuarakan kekerasan yang mereka alami. So, yeah. I'm ready."

Charity mulai menceritakan pertemuan pertamanya dengan Rex di sebuah acara konferensi pers. Saat itu, Charity adalah seorang wartawan sebuah majalah hiburan. Di awal hubungan, Rex tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dia adalah orang yang abusive. Semuanya berubah di bulan keenam. Rex mulai mendesak Charity tinggal bersamanya. Lalu, pria itu mulai menuntut Charity mengurangi jam kerja. Padahal wartawan bukan pekerjaan yang mengenal waktu. Hingga akhirnya, Rex memaksanya mengundurkan diri. Alasannya karena Rex ingin memiliki banyak waktu bersama Charity. Terlebih dengan pekerjaannya sebagai artis, laki-laki itu bisa pergi selama berminggu-minggu. Jadi, ketika pulang, dia ingin bisa menghabiskan waktu dengan Charity.

Mulanya, Charity merasa permintaan Rex hanya sebagai bentuk perhatian dan ungkapan cinta. Toh, Charity juga menginginkan pekerjaan yang membuatnya bisa memiliki banyak waktu luang ketika sudah berkeluarga dengan Rex nanti. Lalu, Rex mulai membatasi hubungan Charity dengan para tetangga. Tak berapa lama kemudian, mereka pindah ke Solihull. Kepindahan mereka ke lingkungan baru, ditambah dengan larangan Rex untuk mengunjungi tetangga, serta pekerjaan sebagai kolumnis yang tidak membutuhkan banyak interaksi membuat Charity semakin terisolasi.

Perlakuan-perlakuan kasar dari Rex mulai diterima Charity ketika mereka sudah berkencan selama hampir satu tahun. Awalnya, Rex hanya sering mencengkeram lengan Charity. Lalu, tingkahnya semakin menjadi-jadi. Charity mulai sering dijambak, dicekik, ditampar, hingga ditendang. Dulu, Charity bisa merawat sendiri luka-luka di tubuhnya. Namun, perilaku Rex yang mulai semakin kasar membuat Charity akhirnya sering dibawa ke rumah sakit karena patah atau retak tulang.

Di lubuk hati, Charity tahu kalau hubungan mereka sudah tidak sehat. Dia berpikir saat itu, cintalah yang membuatnya bertahan. Baru ketika Rex mengancam kalau dia bisa menghancurkan hidupku, Charity menyadari bahwa rasa takutlah yang membuatnya bertahan. Rex membuatnya bergantung pada lelaki itu. Rex membuatnya percaya bahwa hanya Rex yang mampu mencintainya. Bahwa Charity tidak akan bisa menemukan cinta tulus seperti yang bisa diberikan sang mama padanya, kecuali dari Rex. Sampai dia bertemu denganku. Ketika Rex mengancamnya, dia baru memahami apa artinya mencintai.

"Ketika kamu mencintai seseorang, yang ingin kamu lakukan hanyalah melindungi orang itu. Itulah yang saya lakukan untuk Zach. Sedangkan yang terjadi pada saya dengan Rex ..., justru saya yang harus melindungi diri sendiri. I didn't do things he didn't like not because it wasn't the right thing to do, but because I was scared. Because I was trying to protect myself. To avoid being beaten. Now, that's not the sign of love, is it?

"Saya tahu ini klise, tapi selalu dengarkan kata hatimu. Bila kamu merasa ada sesuatu yang salah di dalam hubungan kalian, mungkin memang hubungan itu benar-benar salah. Control is not the equivalent of love. In fact, it's quite the opposite."

"That's very good advice, Charity. If Rex is able to read this, what would you say to him?"

Charity terdiam sejenak. Dia menoleh padaku yang duduk di sampingnya. Aku mengeratkan genggaman. Berusaha menyalurkan kekuatan padanya. Perempuan itu lantas mengembalikan fokus ke Agung.

"You once made me believe that I'm small, weak, and worthless. You made me believe I'm nothing without you. But, I am not and I never will be. Because against all odds, here I am, facing the world and telling my story. Here I am, surviving you. Surviving Rexton Bowman. I wouldn't be able to do that if I was weak, would I?"

Agung mengangguk setuju. Pria itu lantas mematikan alat perekam suara dan menuntaskan wawancara eksklusif dengan Charity. Charity memang mengatakan bila hanya ingin berbicara tentang Rex untuk pertama kalinya pada surat kabar yang dipimpin Agung. Tentu saja, kesempatan itu tak akan dilewatkan Agung. Dia pasti bangga sekali karena korannya adalah media pertama yang berhasil mengulik kehidupan kelam Charity dan Rex.

"You're one damn lucky guy, Zach," komentar Agung sambil mengemasi barang-barangnya.

"The luckiest," ralatku sambil menatap Charity lekat-lekat. Perempuan itu langsung membalasnya dengan senyuman lebar. Senyum yang selalu mampu menghipnotisku.

"Oke. Kayaknya gue sudah harus pergi sekarang," gurau Agung karena melihatku dan Charity bersitatap terlalu lama.

Kami lantas mengantar sahabatku keluar rumah. Usai Agung pergi, kami kembali ke ruang keluarga. Aku mengambil sebuah bungkusan pigura besar yang teronggok di sudut ruangan. Paket itu baru tiba pagi tadi. Nyaris bersamaan dengan kedatangan Agung.

"Mau dibantu?" tanya Charity saat aku membuka kardus pembungkus pigura.

"Nanti bantu lihat piguranya sudah lurus atau belum, ya."

Perempuan itu menurut dan kembali duduk di atas sofa. Aku memasang pigura itu tepat di dinding di seberang Charity. Dia membantu mengarahkan hingga pigura yang memajang foto kami bertiga sudah terpasang dengan sempurna.

Aku menghampiri Charity dan mengklaim ruang kosong di sampingnya. Kulingkarkan tangan di pundaknya. Saking lebarnya senyuman yang disuguhkannya padaku, mata perempuan itu sampai hampir tertutup.

"It finally feels like home," ungkapnya pelan.

Kedua sudut bibirku terangkat tinggi. Aku menggenggam tangannya yang sudah dihiasi dua cincin berlapis emas putih. Dia lantas meletakkan tanganku itu di atas perutnya yang sudah membuncit. Kurasakan si kecil sedang bergerak antusias di dalam perut ibunya. Namun, mataku masih enggan beranjak dari Charity.

"Welcome home, Charity Lewis."

- TAMAT -

🍂🍂🍂

Surviving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang