Hard

667 80 8
                                    

Aku menatap kaca depan mobil dengan nanar. Beberapa hari belakangan, aku lebih sering melamun daripada melakukan hal yang berguna. Segenap organ tubuhku rasanya lumpuh di saat bersamaan. Otakku mendadak tumpul. Energi seolah tersedot habis dari tubuhku. Pun ragaku masih sanggup bergerak, dia sudah tidak lagi bernyawa. Jiwaku seakan hilang sejak tragedi mengerikan malam itu. Kejadian yang terus menghantuiku, bahkan menemani tidur malamku dalam rupa mimpi buruk. Hanya saja, bunga tidur itu terasa sangat nyata.

Aku berada di mobil ambulans. Melihat tubuhnya terbujur kaku. Wajahnya pucat pasi. Bahkan aku masih bisa merasakan tangannya yang begitu dingin.

Aku terus memanggil namanya, tapi perempuan itu hanya diam. Tanpa ekspresi. Matanya pun tertutup rapat. Aku memintanya menatapku. Setidaknya dengan begitu, aku yakin dia masih hidup. Namun, kekasihku itu bergeming.

Kepanikan menyergapku. Aku mengguncang tubuhnya. Meneriakkan namanya dengan lantang. Putus asa, aku menggendongnya. Berlari keluar rumah untuk meminta bantuan. Alih-alih menolong, orang-orang yang berdiri di luar memintaku mengikhlaskannya. Bahwa sudah tidak ada lagi yang bisa kulakukan.

Dia sudah tiada.

Kesadaran itu lantas menyentakku keras. Aku terbangun dengan wajah yang sudah bercampur peluh dan air mata. Mimpi seperti itu berulang setiap malam.

Segera kutengok jam dinding. Waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari. Praktis aku baru tidur dua jam. Dan hanya dua jam malam itu. Bukan waktu yang cukup untuk memulihkan tenaga dan mempersiapkan diri untuk hari ini. Namun, aku sudah masa bodoh. Waktu tidurku memang sudah terganggu sejak malam itu. Siap tidak siap pun aku tetap harus menjalani kewajibanku.

Angin dingin menyambutku begitu aku keluar dari mobil. Aku menengadah. Langit sudah terlihat jauh lebih mendung dari sebelumnya. Bahkan alam pun merasakan duka yang menggelayuti hatiku.

Alas kakiku menapakki satu per satu anak tangga. Dengan malas, kudorong pintu utama. Beberapa polisi berseragam berseliweran di sekitarku, tampak tak peduli pada kehadiranku. Aku segera menghampiri sebuah meja yang dihuni seorang polisi.

"Good morning. Zach Lewis for Detective Bryant," ungkapku tanpa basa-basi.

Dari tatapannya, dia tampak sudah mengenaliku sekalipun kami belum pernah bersua. Reaksinya itu tidak mengejutkan, mengingat Detektif Bryant memang sudah menjadwalkan wawancara denganku sebagai saksi.

Pria di hadapanku itu lantas berkutat dengan telepon. Mengabarkan pada sang detektif bahwa aku telah tiba di kantor polisi. Kemudian, polisi itu mengantarkanku ke sebuah ruangan interogasi. Sebelum meninggalkanku, dia bertanya bila aku ingin minum. Aku menolak halus dan langsung menempati kursi.

Dalam kesendirian, aku kembali tenggelam dalam pikiranku. Kepalaku memutar setiap memori menyenangkan yang kuhabiskan bersama Charity. Lamunanku itu tak berlangsung lama, sebab Detektif Bryant dan koleganya memasuki ruangan.

"Before we start, can I get you something to drink, Mr. Lewis? Perhaps a cup of coffee?" tanya Detektif Bryant.

Aku menggeleng. "No, thanks."

Detektif berkulit gelap itu menduduki kursi di sebelah partnernya. Sebuah map diletakkannya di atas meja. Sementara itu, koleganya bersiap menuliskan hal-hal penting dalam percakapan kami di buku catatannya. Sang detektif memulai wawancara dengan menghidupkan tombol rekam, lantas melisankan situasi kami saat ini. Dia memperkenalkan dirinya, sang partner, dan diriku sebelum menyebutkan hari, tanggal, dan waktu wawancara.

"I understand that doing this interview must be really hard for you, Mr. Lewis," ucap Detektif Bryant.

Kutekan kedua mataku. Setengah diriku ingin memaki. Siapa yang benar-benar bisa memahami situasiku saat ini?

Surviving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang