Siang itu, aku memutuskan untuk mengambil izin dadakan dan makan siang bersama Charity di apartemen. Awalnya, perempuan itu terus mendesakku kembali ke kantor. Dia akhirnya menyerah usai aku meyakinkannya kalau aku sudah tidak ada tanggungan tugas. Lagi pun, aku sangat jarang mengambil izin atau libur.
Di dapur, aku membantu perempuan itu memasak. Tak hentinya aku terkagum-kagum padanya. Charity begitu luwes memainkan pisau dapur dan membagi atensinya pada banyak hal dalam satu waktu. Dia membuat kegiatan memasak terlihat mudah. Padahal seringkali dia hanya menumpukan beban tubuhnya pada satu kaki. Perempuan ini tak pernah sekalipun mengeluhkan kondisinya. Namun, ya, mungkin dia juga telah terbiasa dengan rasa sakit selama bersama Rex. Pikiran itu sontak membuat jantungku rasanya jatuh ke perut. Sebelum bisa kucegah, sebuah keinginan terbit di dalam diriku. Keinginan untuk terus bisa melindunginya. Aku tidak tahu dari mana datangnya perasaan sentimentil itu. Yang kutahu, aku tidak pernah ingin melihatnya merasakan sakit seperti ini lagi.
"Zach?" panggilnya. Tatapannya penuh tanya. "Boleh saya ambil piringnya? Saya mau taruh pastanya."
Ucapannya itu mengempaskanku kembali ke realita. Aku menunduk. Menatap piring yang sedari tadi kugenggam. Di ujung lainnya, Charity sudah menjepit piring dengan jari-jarinya. Buru-buru aku melepas genggaman.
Charity terkekeh. "Kayaknya kamu sudah lapar. Sabar, ya. Sebentar lagi makanannya siap kok."
Aku tidak menanggapi. Mataku masih mengikuti gerak-gerik perempuan itu. Tetesan peluh yang menempel di pelipisnya pun tak luput dari pengamatanku. Aku segera mengambil tisu dan menyeka keringat di wajahnya.
Gerakannya terhenti. Dia menoleh. Tatapannya mengunciku, lalu menarikku ke dimensi lain di mana hanya ada aku dan dirinya. Bahkan detak jarum jam pun hilang ditelan keheningan.
"Makasih," ucapnya lembut. Sebelah tangannya menghapus keringat di sisi lain wajahnya. "Nggak biasanya saya punya asisten waktu masak." Lalu, tangannya itu mengipasi mukanya yang sudah memerah. "Panas, ya."
Aku mendengkus geli. Sadar betul kalau perempuan itu sedang salah tingkah. Udara di dapur memang panas karena kami sedang memasak, tapi juga tidak sepanas itu sampai bisa membuat wajah seseorang merah padam seperti ini.
Charity berusaha mengalihkan kegugupan dengan meniriskan pasta di atas piring. Dia menabur keju parmesan dan peterseli sebelum mengangsurkan piring berisi pasta itu padaku. Alih-alih membawa piring itu ke meja dapur, aku justru meletakkannya di dekat kompor. Wajah Charity yang masih merah seketika diliputi kebingungan.
"Enough walking for the day. Biar saya gendong kamu ke kursi."
Charity menarik diri. "Saya cuma butuh sepuluh langkah untuk sampai ke meja makan, Zach."
"Taruh tanganmu di tengkuk saya." Aku tidak menggubrisnya.
Charity masih berusaha menolak. Tak ingin berargumen lebih lama, aku melingkarkan lengannya di belakang leherku. Detik berikutnya, aku mengangkat Charity sebelum perempuan itu bisa protes.
"Kamu berlebihan," sungutnya. "Menyebalkan. Pemaksa. Bossy. Saya heran sama orang-orang yang bisa betah berlama-lama di dekat kamu. Asistenmu, anak-anak buahmu ..., semua pasti suka membicarakanmu di belakang karena sifatmu yang pemaksa begini."
Alih-alih tersinggung, aku hanya menyunggingkan senyum miring dan mendudukkannya di kursi tinggi. "Sudah selesai?"
"Belum."
Aku mengangkat bahu sekilas. "Oke. Kalau begitu, lanjutkan. Saya mau mengambil makanan dulu."
Charity mendengkus kasar di balik punggungku. Aku berjalan santai menuju dapur. Mengambil piring kami, lalu meletakkannya di atas meja. Perempuan itu masih belum melepas tatapan dariku. Bahkan setelah aku mulai memanjakan mulut dengan pasta.
"Kamu menyisakan itu untuk saya?" Aku menunjuk piringnya dengan siku. "Perhatian sekali. Tahu saja kalau saya kelaparan."
Charity menjawab dengan kerlingan tajam. Napasnya lantas dibanting kasar. Akhirnya, perempuan itu menyantap makanannya. Kami kembali dikelilingi kesunyian hingga seluruh isi piring kami berpindah ke perut.
"Ngomong-ngomong, saya belum sempat minta maaf sama kamu soal kejadian kemarin." Dia berpaling padaku. "Saya tahu maksudmu baik―"
"Tapi, saya juga nggak perlu ngomong seperti itu dan memarahimu di depan banyak orang. Omongan saya juga nggak pantas dan kamu berhak untuk marah pada saya." Aku tersenyum tipis. "Kita lupakan saja masalah kemarin, ya."
Charity menatapku lekat-lekat. "Kamu laki-laki baik, Zach."
Aku tertawa sumbang. "Saya nggak sebaik itu, Charity."
"Nggak ada orang yang seutuhnya baik. Semua orang pasti melakukan kesalahan. Yang terpenting adalah bagaimana sikapmu setelah melakukan kesalahan itu. Apa kamu akan diam saja? Atau kamu benar-benar belajar dari kesalahanmu dengan berusaha untuk nggak mengulangi kesalahan yang sama atau bila ada kesempatan, kamu akan mencoba memperbaiki kesalahan itu?"
Charity mengalihkan pandangan kembali ke piringnya. Wajahnya muram sesaat sebelum akhirnya, senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Perasaan kamu lebih tua daripada saya. Kenapa jadi saya yang bijak, ya?"
Aku berdecak sambil menyandarkan punggung ke kursi. "Lebih tua itu bukan tolok ukur kedewasaan. Hanya karena lebih tua, bukan berarti dia lebih dewasa. Dia cuma lebih berpengalaman saja karena sudah hidup lebih lama."
Charity menaikkan satu alis. "Oh, iya? Berpengalaman?" Dia menelengkan kepala. "Laki-laki seumuran kamu dengan kehidupan sosial sepertimu?"
Refleks, rahangku jatuh. Mataku terbelalak tidak percaya.
"Saya bukan satu-satunya orang antisosial di ruangan ini," elakku.
Satu jarinya terangkat. "Saya nggak antisosial. Saya memilih untuk bekerja dari rumah. Jangan lupa juga kalau dulu, saya punya pacar dan tinggal bersama dia." Charity menumpukan siku di atas meja dan menopang pelipis di atas tangannya yang terkepal. "Sekarang, kasih tahu saya, kapan terakhir kali kamu bersama perempuan?"
"Sekitar tiga bulan lalu," balasku cepat. Jiwa kompetitifku mulai memberontak.
"Kencan gagal?"
Pukulan telak. Aku tak bisa membantah karena memang begitulah kenyataannya. Perempuan yang dijodohkan Archer lewat situs pencarian jodoh itu hanya menambah jumlah kencan gagalku.
"Jadi, terakhir kali kamu menyentuh perempuan sudah pasti lebih lama dari tiga bulan, kan?"
"Saya menggendongmu kemarin malam dan hari ini."
Charity memutar bola mata. "Itu nggak masuk hitungan, Zachary."
Ada desiran lembut yang membelai hati saat mendengar Charity menyebut lengkap nama panggilanku. Aku suka sekali dengan caranya menyebut namaku itu. Terdengar manja, tapi tak kekanakan dan membuatku bergidik jijik.
"Oke. Dari semua teman kencanmu, mana dari antara mereka yang pernah kamu ajak ke apartemenmu?" lanjutnya.
Lagi, aku hanya bisa diam karena belum ada perempuan yang pernah kuajak ke sini. Kecuali Mama dan Charity. Tak kunjung mendapat jawaban, Charity membelalakkan mata sambil menegakkan badannya.
"Jangan bilang saya satu-satunya perempuan yang pernah masuk ke apartemenmu."
"Memang bukan. Mama saya juga pernah masuk dan menginap di sini."
Charity memberiku tatapan datar. Kepalanya menggeleng pelan. "Kehidupan sosialmu jelas lebih parah daripada saya, Zach." Perempuan itu berdecak. "All work and no play make Zach a dull boy."
Perempuan itu lantas tertawa lepas. Sementara itu, aku hanya mampu menggeleng pada ejekan Charity. Ejekan yang juga pernah keluar dari mulut Papa karena aku terlalu sibuk bekerja.
"Kamu tahu persis kalau saya nggak membosankan," protesku.
Bibirnya saling menekan. Keningnya berkerut dalam, seolah dia sedang berpikir keras. Lalu, kepalanya mulai mengangguk.
"Iya, sih. Setiap mengobrol denganmu rasanya seperti adu debat."
Suara tawa kami menyatu. Membentuk melodi bersahut-sahutan yang saling melengkapi. Seperti tawa kami memang diciptakan untuk dikawinkan.
🍂🍂🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
Surviving You
RomanceThis story contains: - Adult content and situations (21+) - Swearing - Subject matter that you may find offensive and disturbing - Toxic relationship - Graphic violence It is not suitable for younger readers -- Zach, seorang kepala editor penerbit t...