Awalnya, Trea mengira Ezra akan meninggalkannya dan membiarkan Trea pulang sendiri atau minimal membentak Trea karena telah lancang berbicara seperti itu tentang seseorang yang sangat dicintainya, namun Ezra hanya diam dan melanjutkan langkah kakinya menuju ke kostan Trea. Dia hanya diam tanpa kata, bahkan hingga tiba di depan kostan Trea.
"Udah sampai. Tidur yang nyenyak."
Kalimat itu akhirnya menjadi kalimat pembuka percakapan mereka, diucapkan oleh Ezra sebelum pemuda itu berbalik dan hendak melangkah meninggalkan Trea. Trea menahan napas dan menahan lengan Ezra, membuat Ezra menoleh dengan raut wajah yang masih datar.
"Zra, sori. Gue gak maksud ngomong begitu."
Ezra mengangguk, tangannya perlahan menyingkirkan tangan Trea yang memegang lengannya. "Gak apa-apa. Sana masuk. Gue duluan, ya."
"Zra, sori banget."
Trea berujar keras dan Ezra hanya diam, berbalik melangkah meninggalkan area kostan Trea. Trea berdiam di tempat, sungguh, tak menyangka mulut lancangnya berhasil membuat Ezra bertingkah seperti itu. Diam tanpa kata. Tidak, lebih baik Ezra marah-marah kepada Trea daripada diam seperti itu.
Napas Trea tertahan. Gadis itu menatap punggung Ezra yang kian menjauh sebelum memantapkan diri untuk berlari menabrak punggung tersebut, melingkarkan tangannya pada perut datar Ezra yang menghentikan langkahnya, terdiam.
"Zra, plis. Gue tahu ini berlebihan, tapi gue mohon banget sama lo. Mami juga pasti mengharapkan hal ini. She is gone, Zra. She is at her happiest place. Jangan kayak gini. Gue sedih tahu kalau dibalik semuanya, lo lebih menderita."
Ezra tak berkata apa pun. Dia hanya diam selama beberapa saat sebelum melepaskan tangan Trea dari tubuhnya dan berbalik. Matanya menatap lekat Trea.
"Trea, you talked too much tonight. Lebih baik lo masuk ke kostan dan tidur. Jangan pernah sekali pun ikut campur urusan gue. Good night."
Trea mengumpati diri, lagi, dalam hati melihat Ezra melangkah pergi.
***
Hari ini tepat dua minggu sejak Trea tidak bekerja. Semua lowongan pekerjaan dia coba untuk mengajukan lamaran, tapi belum juga ada panggilan. Trea mulai stress dengan kondisi ini. Sesekali, Sakura dan Ruby mengunjunginya, membawakan sangat banyak makanan sehingga, sedikit membantu Trea dalam melakukan penghematan. Tapi tetap saja. Trea tak bisa terus beketergantungan dengan para sahabatnya.
"Gue nikah aja kali, ya? Seenggaknya, hidup gue jadi ditanggung suami."
Sakura dan Ruby yang baru hendak memakan pisang goreng di hadapan mereka menoleh menatap Trea yang menatap hampa ke televisi tiga puluh dua inci yang ditontonnya. Malam ini, Sakura dan Ruby menginap di kostan Trea yang akan habis kontrak dalam waktu dekat.
"Udah punya calon lo? Gak pernah cerita, anjir." Ruby berujar, sebelum memakan pisang goreng miliknya.
Trea dengan santai menggeleng. "Belum punya, sih. Tapi kalau hidup gue begini terus, tanpa ada pekerjaan, ya, gimana? Gak bakal bisa lanjut. Kasian orangtua gue di kampung berharap banyak sama gue, tapi guenya begini. Gak nyangka cari kerja sesusah ini."
Sakura mangut-mangut. "Ya, udah, Tre. Sabar. Tetap semangat cari kerja. Gue bantu, deh, cari kenalan buat jadi suami lo. Buat opsi pengganti semisal lo gak dapat kerjaan juga."
Bibir Trea mengerucut. "Duh, tapi gak bisa asal cari suami, loh. Kan, harus lihat bibit-bebet-bobotnya."
"Gak apa-apa, Tre. Yang penting banyak uang dan bisa nanggung hidup lo. Gak apa-apa, lah, jadi beban orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Acceptance
RomanceLelah terus dikhianati, Trea mengakhiri hubungannya dengan Calvin melalui drama dengan bantuan seseorang yang tak terduga. Awalnya, Trea pikir semua akan berjalan dengan mudah, tapi tanpa diduga, Calvin masih mengejarnya, memaksanya untuk kembali.