Hari ini, Trea sudah kembali masuk kantor. Hanya kemarin dia mengambil cuti dengan alasan haid, meskipun alasan sebenarnya adalah patah hati. Semalam, ketiga sahabat Trea kembali ke rumah masing-masing di pukul dua belas malam setelah mendengar keluh-kesah Trea, lalu memasak nasi goreng dan berakhir dengan karaoke bersama. Kamar Trea tidak begitu luas, itulah alasan mereka tidak bisa menginap. Hanya bisa satu orang lain yang tidur di ranjang Trea.
Setelah teman-temanya pulang, lantas tak menyebabkan Trea bisa tidur dengan tenang. Gadis itu hanya duduk di tepi ranjang, memikirkan sesuatu yang dia tak ketahui apa. Terus seperti itu hingga suara adzan Subuh berkumandang. Sungguh, saat itu Trea menghela napas dan beranjak meraih jaket, mengenakannya. Kemudian, dia melangkah ke luar kamar, membasuh wajah di washtafel dan berjalan santai begitu saja. Seperti seseorang yang tak punya arah dan berhenti di bangku taman kompleks. Trea tak ingat apalagi yang terjadi selain dia terbangun dan mendapati seorang pemuda tampan berdiri di hadapannya, dan berjanji akan menghubungi Trea.
Sayangnya, sampai sekarang, pemuda itu tidak menghubunginya.
"Tre, mau balik kapan? Udah jam setengah enam."
Suara itu membuat Trea memutar kursinya, menatap Rubi yang kini bersiap-siap untuk pulang. Di ruangan, hanya tinggal Trea dan Rubi. Rosie dan Sakura sudah pulang sejak pukul setengah lima lalu. Di kantor mereka, jam pulang kantor adalah pukul setengah lima sore.
Trea tersenyum tipis. "Lo dijemput?"
Rubi mengangguk kecil. "Iya. Mau bareng gak?"
Buru-buru Trea menggeleng. "Enggak, ah. Gue balik entar aja. Lo duluan aja, Bi. Gak apa-apa."
Mata kucing Rubi menatapnya iba. "Seriusan gak apa-apa?"
Trea mengangguk. "Gak apa-apa. Lagian, gue mau nyelesain kerjaan yang gue lewatin kemarin. Biar gak numpuk besok." Satu tangan Trea meraih mouse komputernya, menggerakkan kursor dari posisi semula.
Gadis pecinta Chanel itu menghampiri Trea, menepuk pundaknya beberapa kali. "Jangan terlalu lama nyiksa diri. Inget, ya, Tre! Lo itu terlalu baik buat bajingan itu! Kalau ada yang harus menyesal, itu dia. Cuma dia, bukan lo."
Cengiran khas muncul di wajah Trea. Trea mangut-mangut. "Tenang, Bi. Gue udah move on, kok. Lo benar. Gue itu terlalu sempurna buat cowok sebrengsek Calvin." Trea membusungkan dada, bangga.
Rubi mengepalkan tangan penuh semangat empat puluh lima. "Bagus! Itu baru sahabat gue! Akhirnya, lo bisa melepaskan diri dan melepaskan status bucin dari cowok brengsek itu. Gue bangga, Trea."
"I know, I know."
Rubi terkekeh, dia memperbaiki posisi tas di tangan kanannya. "Eh, serius, nih, lo gak mau bareng?"
Trea mengangguk. "Serius. Duluan aja. Bentar lagi gue balik, kok."
Rubi menghela napas dan mengangguk. "Oke, deh. Tre, gue balik duluan, ya. Sampai ketemu besok. Rubi sayang Trea." Bukan hal yang aneh ketika Rubi mengecup singkat pipi Trea sebelum beranjak pergi dari ruangan Divisi Pemasaran. Memang begitu cara Rubi mengungkapkan rasa sayang. Lewat kecupan.
Selepas Rubi pergi, Trea tinggalah sendiri di ruangan. Layar monitornya masih menyala, tapi bohong saat Trea bilang dia ingin menyelesaikan pekerjaan. Pekerjaan Trea belum banyak dan bukan pekerjaan rutin yang harus dikerjakan tiap hari.
Hanya saja...Calvin yang nomor ponsel serta beberapa akun sosial medianya telah diblokir oleh Trea, menghubungi Trea dengan nomor lain dan mengatakan akan menunggu di kostan Trea untuk bicara. Untuk kesekian kalinya dan Trea tak mau bertemu Calvin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Acceptance
RomanceLelah terus dikhianati, Trea mengakhiri hubungannya dengan Calvin melalui drama dengan bantuan seseorang yang tak terduga. Awalnya, Trea pikir semua akan berjalan dengan mudah, tapi tanpa diduga, Calvin masih mengejarnya, memaksanya untuk kembali.