Sudah berjalan seminggu lamanya sejak pertama kali Trea menginjakkan kaki di apartemen milik Ezra. Selama seminggu juga, dia hanya berhubungan via telepon dengan Ezra. Pemuda itu terlihat amat sibuk dengan rumah sakit, mengabaikan beberapa usaha yang dimilikinya di luar. Ah, pemuda itu benar-benar pandai berinvestasi. Trea saja kaget saat melihat berapa banyak usaha yang dimiliknya, mulai dari kedai kopi, restoran, outlet pakaian dan jangan lupakan apartemen-apartemen yang dimiliknya, dengan keuntungan yang sangat lumayan.
"Udah ada laporan dari outlet gue yang di Bandung?"
Trea menghela napas, dengan ponsel yang diselipkan antara bahu dan telinga, gadis itu menjawab santai, "Udah, Zra. Besok dikirim via email laporan penjualan tiga bulan belakangan. Laporan terakhir yang ada di email lo ya, laporan tiga bulan lalu. Katanya, penjualannya sedikit menurun dari tiga bulan lalu."
"Gak apa-apa, sih. Selama masih ada keuntungan dan bisa gaji karyawan, gak apa-apa."
Trea memutar bola matanya. "Mana ada begitu, Bodoh! Lo investasi di bidang itu, dengan harapan memperoleh untung sebanyak-banyaknya. Kalau penjualannya menurun, harusnya ada evaluasi. Entah lo harus buat inovasi baru atau perombakan karyawan."
Helaan napas Ezra terdengar. "Itu bisnis kecil banget. Kayaknya gue modal juga gak nyampe seratus juta. Niatnya buat iseng-isengan doang biar ruko yang gue beli gak kosong melulu."
"Ruko-nya punya lo?"
"Iya. Gue kebanyakan bisnis di properti. Tapi lo tahu sendiri, masarin properti gak kayak masarin makanan atau pakaian. Jadi, rada susah. Daripada kosong mulu, gue buka usaha outlet pakaian gitu. Emang untungnya gak seberapa, sih."
Trea tercengang sendiri mendengar dengan santainya Ezra bercerita seakan-akan, semua bisnis yang dia jalani, ya iseng saja untuk membuang uangnya yang teramat banyak. Tak peduli untung atau rugi, toh, dia masih bisa hidup dengan gaji sebagai psikiater. Gila, sih.
"Zra, kalau gue bantu lo ngembangin bisnis-bisnis lo, setuju gak? Semisal, gue bantu promo outlet pakaian lo, terus promo restoran lo, dll. Gue dapat fee tambahan gak?"
"Ya, lo ajuin proposal dulu ke gue. Kalau gue setuju, kita bisa diskusi berapa besaran fee yang bakal lo dapet. Tapi dengan syarat, ada target penjualan."
Trea nyengir. "Deal. Minggu depan lo ke sini, ya? Atau gue yang ke lo buat presentasiin ide brilian gue buat pengembangan bisnis-bisnis lo?"
"Gak perlu presentasi segala, Trea. Kita cuma perlu duduk berdua, diskusi."
Trea mangut-mangut. "Oke, oke. Lo bisa kapan? Diskusi di restoran dekat rumah sakit gimana? Atau mau di rumah lo biar gue sekalian ketemu Tante Cindi?"
"Mami lagi di Bandung, gak di Jakarta. Kayaknya pulang bulan depan. Kakaknya sakit."
Bibir Trea mengerucut. "Duh, kasihan. Semoga lekas sembuh."
"Thanks."
"Jadi, gimana diskusinya, Zra? Gue nunggu ini. Mau kapan dan di mana? Gue gak sabar menuangkan semua ide kreatif gue ke bisnis-bisnis yang lo punya."
Hening beberapa saat sampai akhirnya, Trea tercengang sendiri saat Ezra memberi jawaban yang sangat tidak terduga.
"Besok malam gue pulang ke sana."
"Ha—hah?"
"Besok gue pulang ke sana. Tidur di kamar gue. Di rumah gak ada orang, sepi. Mending gue ke sana, ada lo. Gak sendirian banget, lah."
"Oh—oke."
"Lo gak ngeberantakin apartemen gue, kan?"
Buru-buru, Trea menggeleng meskipun panggilan suara tidak akan menampilkan gelengan kepalanya pada Ezra. "Enggak, Zra. Sama sekali, enggak. Gue merawat apartemen lo seperti gue merawat apartemen gue sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Acceptance
RomanceLelah terus dikhianati, Trea mengakhiri hubungannya dengan Calvin melalui drama dengan bantuan seseorang yang tak terduga. Awalnya, Trea pikir semua akan berjalan dengan mudah, tapi tanpa diduga, Calvin masih mengejarnya, memaksanya untuk kembali.