Gadis mana yang tidak klepek-klepek dengan cowok model Ezra? Cowok yang selalu konsisten dengan kata-katanya, seperti saat ini. Sungguh, Trea tak menyangka Ezra benar-benar mendatangi kostan Trea dan mengajak Trea mencari udara segar berkeliling kota Jakarta. Berdiam di mobil, dengan kaca yang sedikit terbuka. Rasanya sangat menyenangkan.
"Gue laper."
Trea menoleh mendengar suara tersebut. Sedari tadi dia sibuk mengagumi kerlap-kerlip lampu gedung-gedung pencakar langit Jakarta, memejamkan mata merasakan hembusan angin yang menggelitik kulit. Seperti sedikit terangkat semua beban pikirannya.
"Ya, udah. Berhenti aja nanti kalau ada tempat makan yang mau lo kunjungin. Udah jam segini, sih." Trea melihat layar ponsel yang dia letakkan di pangkuannya.
Ezra menghela napas. "Gue udah nemenin lo jalan-jalan. Lo rekomendasiin, dong, tempat yang enak dan buka jam segini." Mata sipit pemuda itu masih fokus pada jalan.
Trea berpikir sejenak, sebelum akhirnya gadis itu nyengir kuda dan memberi rekomendasi, "Sate taichan, yuk? Di Senayan."
"Enak?"
"Ezra, ini udah tahun 2019 dan lo masih mempertanyakan keenakan sate taichan?! Ke mana aja, sih, lo? Enak banget, Bro! Rasa micinnya berasa banget! Makanya enak!" Trea menjelaskan dengan penuh semangat, well, gadis itu memang pecinta junkfood.
Ezra menoleh sekilas. "Junkfood?"
Trea menggeleng. "Gak juga, sih. Elah, Zra, kalau pun junkfood, emang kenapa? Lo pasti jarang-jarang makan junkfood, ya? Damn, kok, ada orang yang gak suka junkfood."
"Bukan gak suka, Trea. Hanya membatasi. Gue dokter. Gue tahu mana yang tepat untuk gue makan dan mana yang enggak."
Bibir Trea mengerucut. "Ayolah, Zra. Membatasi bukan berarti gak makan sama sekali, kan? Enak, kok, sumpah. Gue kalau abis makan junkfood, berasa hidup kembali. Jadi, lo juga harus coba!"
"Lebay."
"Seriusan, ih! Lo gak percayaan banget! Udahlah, fix. Kita makan sate taichan!"
Setelah melewati perdebatan panjang, akhirnya Ezra memutuskan untuk mengalah dan mengikuti arahan langsung Trea yang mengantarkan mereka pada kios sate taichan di pinggir jalan. Hanya beratapkan terpal dan meja kayu yang juga ditutupi bekas spanduk. Ah, sangat sederhana.
"Dua puluh tusuk, ya, Kang! Yang satu daging doang, yang satu campur kulit. Minumnya jeruk hangat aja dua gelas."
Trea yang memesan tanpa bertanya terlebih dahulu pada Ezra dan Ezra hanya diam, mengikuti keinginan gadis itu. Duduk tenang dengan tangan terlipat di atas meja, masa bodoh beberapa pelanggan menoleh menatapnya sambil berbisik. Ezra terbiasa dengan bisikan-bisikan para gadis, hingga pemuda itu menoleh dan menyadari jika tak hanya para gadis, tapi beberapa pria mata keranjang menoleh ke meja mereka. Menatap Trea lebih tepatnya, mengingat gadis itu hanya mengenakan celana pendek selutut dan kaus putih teramat tipis bahkan condong terlihat...transparan.
Transparan.
Sial. Ezra baru menyadari hal itu.
Pemuda itu melepaskan jaket yang dia kenakan dan di saat bersamaan Trea duduk kembali setelah memesan, Ezra menyodorkan jaketnya. "Gue, kan, kasih lo waktu buat bersiap. Kenapa lo pakai baju gembel kayak gitu, sih? Pakai jaket gue!"
"Kenapa, sih, Zra? Gue, kan, pakai apa pun tetap cantik."
Ezra memutar bola matanya. "Bukan soal lo cantik atau enggak, tapi kaos lo itu...," Ezra memejamkan mata, tak sanggup melanjutkan dan memilih untuk menghela napas, meredakan suaranya. "Udah, dipakai aja jaket gue. Gak usah dibalikin juga gak apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Acceptance
RomanceLelah terus dikhianati, Trea mengakhiri hubungannya dengan Calvin melalui drama dengan bantuan seseorang yang tak terduga. Awalnya, Trea pikir semua akan berjalan dengan mudah, tapi tanpa diduga, Calvin masih mengejarnya, memaksanya untuk kembali.