15 APARTEMEN

1.2K 301 69
                                    

Ariesa Chantrea mengatur pernapasannya sebelum menyeruput cokelat hangat yang berada di genggamannya. Cokelat panas yang baru saja diantarkan seorang office girl yang memberikan Trea tatapan sinis. Trea paham, mengapa office girl itu menatapnya sinis. Rasanya ingin tertawa keras.

Iri? Bilang bos!

Pasti office girl itu menyukai pemilik ruangan tempat Trea berada sekarang, yang tengah membaca berkas pasiennya yang entah siapa dengan sangat serius sejak sepuluh menit belakangan. Membiarkan Trea mempelajari tiap sudut ruangannya, menghapalnya satu per satu.

Sesekali, Trea mengintip wajah serius Kaspian Ezra Danuarta dari balik cangkir berisikan cokelat hangat miliknya. Duh, Trea tak mengerti apa pun. Dia sedang melamar pekerjaan dan tiba-tiba, Ezra datang seperti pria yang tengah marah-marah. Ezra menarik tangan Trea yang mau tak mau menurutinya, lalu meminta Trea menunggu di ruang kerjanya sementara, dia sibuk membaca berkas-berkas pasiennya tanpa menjelaskan apa pun.

Trea menghela napas, meletakkan cangkir cokelatnya di atas meja tamu kaca ruangan Ezra. "Zra? Ini gue ngapain di sini, ya? Nungguin lo kelar kerja gitu?"

Ezra menutup berkas yang semula dibacanya, kemudian menatap ke jam dinding yang terpajang di ruangannya. Pukul 16.25. "Tunggu. Lima menit lagi kerjaan gue selesai."

"Lo kerja apa, sih? Baca berkas doang."

"Gue harus analisa berkas ini dan buat laporan sebelum ketemu sama si pasien dan walinya." Ezra menghela napas, beralih menatap Trea. Pemuda itu seakan ingin mengatakan sesuatu, namun akhirnya tertahan dan dia memilih untuk bungkam.

Benar apa yang Ezra katakan, lima menit kemudian, tepat ketika jam sudah menunjukkan pukul 16.30, Ezra beranjak dari kursinya, melepaskan sneli putih yang dia kenakan dan mengambil tas selempang merk Louis Vuitton miliknya. Dia menghampiri Trea yang masih bertahan di sofa, mendongak menatapnya.

"Ayo."

Trea mengangguk, keduanya melangkah meninggalkan ruangan kerja Ezra. Melewati lorong rumah sakit, Trea melangkah di belakang Ezra yang mendapat cukup banyak sapaan, terlebih lagi dari para perawat genit.

"Kenapa gue jadi ngikutin lo, sih, Zra?" Trea akhirnya bertanya, sesampainya mereka di dekat mobil Ezra.

Ezra menghela napas. "Karena gue baru aja nyelamatin lo dari lowongan pekerjaan bohongan tadi."

Mata Trea memicing. "Lowongan pekerjaan bohongan apaan, sih? Lo gak jelasin apa pun ke gue, ya."

Ezra membukakan pintu mobilnya untuk Trea. "Masuk dulu. Gue ceritain di jalan."

Trea menggeleng. "Gak mau! Lo tahu gak, sih? Gue gak peduli pekerjaan apa yang bakal gue lakonin! Gue benar-benar butuh pekerjaan buat bisa hidup di kota ini! Gue gak bisa balik ke kampung sebelum sukses! Orangtua gue bakal mikir yang macam-macam!" Nada bicara Trea meninggi, Ezra menatap gadis itu lekat.

"I saved you, Trea."

"Apa, sih, Zra?! Lo sadar gak, sih? Tadi lo tiba-tiba datang bawa banyak orang dan buat gue kehilangan pekerjaan! Tadi harusnya gue masuk interview terlebih dahulu sebelum lo datang! Kenapa gue jadi orang terakhir yang diinterview, sih?!"

Ezra memejamkan mata sekilas, Trea menatapnya penuh kemarahan. "Lo tahu gak, sih, lo itu lagi dijual ke seorang cowok mata keranjang di dalam salah satu kamar hotel tadi?"

Trea mengerjapkan mata.

"Lo bakal diajak masuk ke dalam hotel, ketemu cowok yang bakal negosiasi sama lo tentang harga yang harus dia bayar buat pakai lo dalam beberapa jam. Itu pekerjaan yang mau lo lamar?" Ezra berujar penuh penekanan, tapi mencoba setenang mungkin.

AcceptanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang