21 LUPA

1.3K 289 25
                                    

Ezra mengantar Trea kembali ke apartemen, setelah selesai makan soto Sabang yang Trea bawakan dan menyelesaikan pekerjaannya di rumah sakit. Sepanjang perjalanan juga tak banyak percakapan yang mereka lakukan. Ezra sibuk dengan pikirannya yang entah apa dan baru buka suara saat dia berkata hari ini kembali ke rumahnya, tidak pulang ke apartemen bersama Trea.

"Jangan ngeberantak, Tre."

Trea mendengus. "Lo lihat, deh. Apartemen lo semenjak ada gue emang berantakan? Enggak, kan?"

Ezra terkekeh dan mengangguk. "Iya, iya. Makasih, ya, udah dirapihin. Seenggaknya dipertahankan kerapihannya."

Trea mangut-mangut. "Iya. Ya, udah. Gue masuk, ya? Makasih banyak. Lo hati-hati di jalan."

Trea menghela napas sebelum hendak membuka pintu mobil saat Ezra menarik lengannya dan membuat gadis itu kembali terduduk di jok mobil. Napas Trea tertahan saat Ezra mendekat dan gadis itu mengumpat dalam hati menyadari apa yang Ezra lakukan.

"Lo belum lepas sabuk pengaman, Chantrea."

Setelahnya, Ezra kembali ke posisinya dan tersenyum manis kepada Trea dengan wajah mulai memerah. Trea menggeleng dan berusaha menutupi wajah merahnya tersebut dengan berkata, "Oh, oke. Maaf, lupa. Gue ke masuk, ya. Lo hati-hati di jalan. Titip salam buat Tante Cindi."

Ezra merespon dengan anggukkan kecil, sementara Trea buru-buru ke luar dari mobil dan tanpa menunggu mobil Ezra pergi, dia yang sudah sangat salah tingkah bergegas memasuki area apartemen tempatnya tinggal selama beberapa minggu belakangan.

"Duh, malu banget. Ngapa gue berharap dicium, sih? Anjirlah." Trea berujar pelan, menekan tombol elevator menuju ke apartemen Ezra.

***

"Bagaimana perasaan kamu sekarang?"

Ezra bertanya lembut kepada pasien yang baru saja melakukan terapi dengannya. Pasien wanita berusia dua puluh delapan tahun yang mengaku mengalami stress berat sehingga tidak bisa makan dan tidur dengan normal. Bahkan dia mengaku, tiada malam yang dapat dia lalui tanpa menangis. Seakan-akan hidup memang tidak pernah berpihak dengannya.

Mata pasien itu berkaca-kaca, dia tidak langsung menjawab pertanyaan Ezra dan duduk bersandar pada sandaran sofa. "Saya melihatnya, Dok."

Satu alis Ezra terangkat. "Siapa yang kamu lihat?"

Tanpa banyak berkata lagi, pasien itu menangis keras, menutup wajah dengan telapak tangannya dan Ezra hanya diam memperhatikan, mencoba memahami apa yang dirasakan oleh pasiennya tersebut.

"I see him saying goodbye at me."

Ezra diam sejenak. "Siapa?"

Lagi, pasien itu menangis. "Dia janji akan pulang sebelum Lebaran. Tapi sampai sekarang belum juga kembali." Dia sesenggukkan, "Banyak yang bilang, dia gak akan kembali lagi karena mengalami kecelakaan. Tapi saya gak mau percaya. Karena dia janji untuk kembali. Saya pegang janjinya hingga mati."

Napas Ezra tertahan. "Dia...kecelakaan?"

"Kecelakaan pesawat, beberapa bulan lalu. Ada suami saya di sana. Dia co-pilot dan dinyatakan gugur dalam tugas. Hingga sekarang jasadnya belum ditemukan." Pasien itu menyeka air mata di pelupuk matanya, "Apa saya salah berharap dia masih dapat ditemukan dalam keadaan hidup dan baik-baik saja? Saya gak bisa terima saat pihak maskapai tempatnya bekerja buat press conference yang menyatakan dia gugur dalam tugas. Buat saya, dia masih bertugas dan akan segera kembali."

Pasien itu menundukkan kepala dan air matanya kembali mengalir deras. "Saya berusaha keras sedemikian mungkin buat bisa menemukan dia, saya masih punya keyakinan penuh dia akan kembali," dia menarik napas, menghelanya perlahan, "Tapi semua mulai melelahkan dan sia-sia. Saya mencoba untuk bertahan, tapi semua semakin gak nyata dan terlalu berat untuk saya terima. Saya gak bisa tidur, pikiran saya bergemuruh seakan sulit memisahkan mana yang harus saya ikhlaskan, mana yang harus saya hadapi. Semua mulai melelahkan."

AcceptanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang