Suara alarm ponsel memanggil Ariesa Chantrea dari dunia mimpinya. Dering pertama dan kedua sukses dia abaikan, namun di dering ketiga, Trea memutuskan untuk berbalik ke kanan di mana ponselnya terletak di atas nakas kecil, meraihnya dan mematikan alarm tersebut. Trea menghela napas sebelum beranjak dari posisi berbaringnya. Gadis berambut panjang itu duduk di ranjang, mencoba mengumpulkan kesadaran, lalu merenggangkan otot-ototnya yang menegang.
Setelahnya, Trea baru membuka matanya perlahan, menatap sekeliling sebelum beranjak turun dari ranjang. Gadis itu melangkah menuju ke jendela kamar dan membukanya perlahan, membiarkan sinar matahari menyelinap masuk ke kamar. Ah, hangat. Cuaca hari ini terlihat sangat cerah.
Trea menguap sesekali seraya melangkah meninggalkan kamar, menuju ke dapur untuk membuat sarapan masih dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul. Gadis itu meraih gelas di rak piring dan hendak membuat teh saat sebuah sapaan membuatnya terlonjak terkejut.
"Pagi."
Kesadarannya terkumpul penuh dalam sekejap, mata belonya melotot melihat seorang pemuda tampan duduk di meja makan, dengan secangkir kopi dan piring berisikan beberapa helai roti yang sudah diberi selai kacang.
Trea tercengang sesaat sebelum menghela napas, mencoba untuk tenang. "Pagi, Zra."
"Siang banget lo bangun. Gue udah mandi, buat sarapan, dan lain-lain." Sindir Ezra sebelum menyeruput kopinya.
Gadis itu nyengir, menuangkan air hangat ke cangkir yang sudah ada kantung tehnya. Trea bergabung dengan Ezra di meja makan, melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi. Siang? Trea bahkan biasanya bangun pukul sepuluh atau sebelas.
"Lo bangun jam berapa? Udah mandi aja." Gadis itu menguap seraya meraih roti yang sudah Ezra siapkan, memakannya dengan lahap.
"Jam delapan."
"Kan hari Sabtu, Zra. Ngapain bangun pagi-pagi? Hari libur, loh." Trea membela diri, dengan mulut penuh roti.
Ezra terkekeh. "Etika makan, jangan bicara pas lagi makan."
Trea mangut-mangut dan menghabiskan roti di mulutnya terlebih dahulu sebelum berkata, "Mau ke mana lo pagi-pagi udah rapih? Ada kerjaan? Lembur?"
Ezra menggeleng santai. "Gak ke mana-mana pun, gue udah biasa bangun pagi dan langsung mandi."
Lagi, Trea mangut-mangut.
Setelahnya, tak ada lagi percakapan di antara keduanya. Ah, Trea tak tahu harus bagaimana lagi. Masih terbayang jelas dalam benaknya, apa yang mereka lakukan semalam. Sungguh, Trea tak menyangka, akan seberani itu dia mencium bibir seseorang yang mengalami kesulitan dalam menerima kehilangan.
"Zra, gue..gue minta maaf soal semalam."
Ezra mengangkat satu alis. "Soal semalam?"
Trea menggigit bibir bawahnya. "Iya. Gue gak setan apa yang ngerasukin gue sampai begitu. Sori banget, Zra. Gue janji, gak bakal bodoh dan ilang kontrol kayak semalam." Trea menatap pemuda yang menatap kosong ke rotinya tersebut.
Pemuda berambut hitam legam itu menghela napas. "Gue juga salah karena ilang kontrol. Gue minta maaf."
Setelahnya, keduanya hanya diam dalam pikiran masing-masing, hingga akhirnya, Ezra beranjak dari kursinya duduk dan menghela napas. "Gue pergi dulu ketemu sama klien. Lo hati-hati di apartemen. Gue balik malam."
Mata Trea mengerjap. "Tante Cindi...belum balik?"
Satu alis Ezra terangkat. "Kenapa?"
Trea nyengir. "Mau belajar masak lagi sama dia," Biar lo pulang ke rumah, gak usah ke sini lagi, Zra. Suka khilaf gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Acceptance
RomanceLelah terus dikhianati, Trea mengakhiri hubungannya dengan Calvin melalui drama dengan bantuan seseorang yang tak terduga. Awalnya, Trea pikir semua akan berjalan dengan mudah, tapi tanpa diduga, Calvin masih mengejarnya, memaksanya untuk kembali.