02 SAYANG

2.6K 468 82
                                    

Mata cokelat setajam elang yang fokus pada layar laptop tak teralih sedikit pun dengan kehadiran seorang pria tepat di hadapannya, berdiri tegak dengan tangan yang menyatu dan wajah kentara gugup. Pria itu menggigit bibir bawahnya sebelum membuka suara, di ruangan dokter muda spesialis psikiatri, Kaspian Ezra Danuarta. Ah, sungguh. Ezra masih dua puluh lima tahun ketika berhasil lulus serangkaian pendidikan untuk mendapat izin resmi menjadi seorang dokter psikiater. Mengesankan.

"Dokter Ezra?" Ah, suara pria itu bahkan terdengar seperti tikus yang mencicit. Matanya hanya sesekali menatap Ezra yang masih tak menatapnya. Well, bukan hal yang aneh. Memang, Ezra sedikit ditakuti di rumah sakit ini, dengan alasan yang tak juga sedikit.

Tatapan Ezra tak beralih saat dia mulai membuka suara, dingin, "Ya?"

Si pria menahan napas. "Maaf, Dok. Tadi ada telepon dari kantor polisi. Saya udah bilang kalau Dokter lagi rapat dan mereka titip pesan agar Dokter bisa datang ke sana sekarang."

"Sibuk." Ezra menjawab singkat. Sungguh, dia benar-benar sibuk menyiapkan bahan untuk rapat dengan  dua hari lagi, itulah alasan kenapa dia tidak ikut dengan rekan-rekannya yang lain, yang sibuk makan siang jauh dari rumah sakig. Di antara semuanya, kepala bidang mempercayakan tugas yang berhubungan dengan Direksi langsung kepada Ezra, sementara yang bersangkutan sibuk dengan hal lain yang juga sulit dimengerti.

Salah satu alasan kenapa Ezra ditakuti: karena kedekatannya dengan Para Direksi. Bisa dibilang, sejak mulai bekerja di Rumah Sakit Cahaya Harapan enam bulan lalu, mustahil jika tak ada yang terkesan dengan Ezra dan semua nilai baik yang dia dapatkan selama pendidikan kedokteran. Sungguh, para Direksi yang merangkap sebagai dokter senior pun mengakui itu dan sedikit merasa sungkan dengan Ezra. Itulah alasan mereka memperlakukan Ezra dengan istimewa.

Setelah sekian menit pria itu berdiri di hadapan Ezra, bingung ingin melakukan apa, tiba-tiba Ezra menghela napas dan untuk pertama kalinya mengalihkan pandangan dari laptop. "Bapak sibuk gak?" tanyanya, dengan nada yang sedikit lebih sopan.

"Kenapa, Dok?" Si operator berusia tiga puluh tujuh tahun dengan nama panggilan Abdi itu balik bertanya, penuh kehati-hatian.

"Kayaknya, mereka mau balikin dompet saya. Jadi, bisa minta tolong ambilin ke sana?"

Tanpa banyak berpikir, Abdi mengangguk. "Boleh, Dok."

Senyuman teramat tipis muncul di bibir Ezra. "Tunggu sebentar, Pak. Biar saya buat surat kuasa dulu. Saya minta tolong, ya, Pak. Terima kasih sebelumnya." Perhatian Ezra mulai fokus kembali ke layar laptop. Jari-jari tangan pemuda tampan itu menari lihai di keyboard, gerakannya teramat cepat hingga membuat Abdi kagum sendiri.

Abdi tak bisa menolak perintah apa pun dari Ezra. Perintah Ezra adalah perintah penguasa di rumah sakit ini yang mutlak dan tak dapat diganggu gugat.

Gadis cantik berambut kecokelatan itu terus menundukkan kepala ketika sahabat baiknya, lah, yang berbicara dengan polisi yang bertugas di bagian administrasi hari ini. Ariesa Chantrea  tak enak hati. Rasanya, tiga hari lalu dia sudah sangat kelewatan menuduh seseorang yang mengalami hal serupa dengannya dengan sebutan copet. Nyatanya, hari ini, kantor polisi menghubungi Trea dan memberi tahu gadis itu bahwa copet yang memang sering beraksi di Jalan Sabang selama dua bulan belakangan, berhasil tertangkap. Tas Trea berhasil ditemukan, beserta dompet dan beberapa kartu berharga di sana, meskipun uang Trea lenyap seluruhnya.

"Tre, lo dengar, kan?" Senggolan di bahu Trea membuat gadis itu mengangkat kepala, menoleh kepada Rubi yang memang siang ini lenggang dan mau menemaninya datang ke kantor polisi.

AcceptanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang