Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lidya memasuki kamar Bima yang setiap hari ia bersihkan sejak pemilik kamar itu pergi. Ia duduk di tepi ranjang lalu mengusap bantal yang biasa dipakai Bima untuk menyelami mimpi.
"Kamu ke mana aja sih, Nak? Kenapa enggak mau pulang? Kenapa kamu biarin pengorbanan adik kamu malah sia-sia? Mama tinggalin semuanya hanya demi kamu. Apa enggak sedikit pun hati kamu tersisa buat Mama? Buat maafin Mama? Hiks ...." wanita paruh baya itu menunduk sambil terisak pilu.
Tak lama ia pun bangkit dan mencari ponsel Bima. Dengan benda itu ia berharap bisa mendapatkan petunjuk. Seperti tempat apa saja yang biasa dikunjunginya. Setelah menemukannya ia pun mengotak-atik benda tersebut. Sesekali dirinya tersenyum melihat poto sang anak yang terlihat ceria dari caranya tertawa. Namun, ada satu hal yang menarik perhatiannya, di dalam kontaknya terdapat nama Ren. Lidya tidak tahu kalau mereka sedekat itu hingga Bima menyisipkan kata adik dalam nama kontaknya. 'AdikRen'
Lidya berpikir, mungkinkah Bima pergi ke tempat Ren? Atau mungkin Ren tahu tentang keberadaan Bima. Ia pun segera mendial nomor tersebut dan tak lama Ren mengangkatnya.
☆☆☆
Siang itu, setelah Ren mendapatkan panggilan dari Lidya melalui ponsel Bima, anak itu segera bergegas ke suatu tempat yang mungkin bisa membantunya untuk menemukan sang kakak. Tanpa banyak bicara lagi, Ren segera menaiki bis yang kebetulan saat itu sedang penuh, terpaksa ia harus berdiri berhimpitan dengan para pegawai yang baru saja pulang dari tempat kerja mereka. Karena ini hari Sabtu mereka hanya bekerja setengah hari saja.
Tiba-tiba ingatannya kembali pada percakapannya bersama Lidya beberapa saat lalu.
"Iya ini Mama, Nak."
"Ma, Mama ke mana aja? Ren kangen, gimana kabar Mama?"
"Kabar Mama buruk Ren, Mama ... Mama enggak baik-baik aja. Hiks ...."
"Mama jangan nangis, Ren enggak bisa peluk Mama. Ren enggak suka Mama nangis."
"Maafin Mama Ren, Mama seneng kamu baik-baik aja."
"Gimana bisa Ren baik-baik aja sementara Mama enggak?"
Hanya isakan tangis pilu yang terdengar di telinga Ren, membuat anak itu semakin tak enak hati.
"Apa yang buat Mama nangis?"
Lidya masih bergeming.
"M-ma, Ren mohon bilang sama Ren."
"Bima enggak pulang Nak. Udah seminggu lebih, dan Mama khawatir dia kenapa-napa, semua temennya udah amama hubungi tapi enggak ada yang ngasih tau Mama. Ren Mama harus apa? Ini semua salah Mama, hiks ...."
Ren terdiam, mamanya benar-benar hanya memikirkan Bima, bahkan ia lupa menanyakan kabarnya dan malah menerka-nerka sendiri jawabannya. Lidya tidak tahu saja kalau saat ini hati Ren serasa remuk redam atas sikapnya itu.