Baskara - 11

7K 792 45
                                    


Lembayung senja nan indah dengan cahaya jingga yang menawan saat ini tampak mengiringi langka kecil Faza. Anak itu baru saja pulang dari kegiatan kerja kelompoknya di rumah Farel, bersama Niki. Ia menghela nafas sambil mendaratkan bokongnya pada dudukan halte. Ia tampak lesu, entah apa yang ada di pikirannya yang kini bersandar pada tiang.

Tak lama bus pun datang. Mau tidak mau ia kembali berdiri untuk menyeret langkah gontainya guna menaiki bis.

"Adek!"

Mata Faza membulat sempurna saat ia mendengar panggilan tersebut. Tiga tahun tak bertemu tak lantas membuatnya lupa bagaimana caranya sang ayah memanggilnya. Faza sedikit melirikkan ekor matanya, dan benar saja sosok yang akhir-akhir ini menggerayangi pikirannya hadir kembali di dekatnya. Faza takut, setahun ia merasa aman. Namun kini ia kembali dihadapkan dengan kenyataan bahwa ayahnya sudah bebas dari penjara. Padahal seharusnya dia mendekam disana seumur hidupnya.

Sosok itu tersenyum, tetapi Faza tak mengindahkannya. Anak itu lantas segera menaiki bus dan menyuruh sang supir untuk segera melajukan busnya.

"Faza! Faza dengerin ayah, Nak! Faza!" Sang ayah berlari mengejar, tetapi sayang, kecepatan larinya tak bisa di sandingkan dengan kendaraan persegi panjang tersebut. Pria paruh baya itu hanya bisa mendesah frustrasi karena ia kehilangan lagi jejak sang putra.

Sementara itu Faza sudah menangis di dalam bus. Beruntung ia duduk sendirian sehingga tak banyak yang tahu kondisinya sekarang.

"Kenapa Ayah harus muncul di Jakarta? Kenapa Ayah harus ke Jakarta? Gimana kalo Mama sama Abang yang ketemu ayah? Hiks," lirihnya di tengah ketakutannya.

Seketika bayangan-bayangan masa kelamnya saat masih tinggal bersama ayahnya itu terlintas di pikirannya. Faza menekuk lutut dengan tatapan kosong. Ia tak peduli dengan sepatunya yang mungkin akan mengotori jok bus tersebut.

Kebetulan, Teguh juga ada di sana. Ia hendak turun di halte berikutnya, jadi ia pindah posisi agar lebih dekat dengan pintu. Ia sempat melirik Faza dengan tatapan datar, kemudian duduk di samping Faza.
Karena merasa risih dengan suara isak tangis juga tatapan kosong anak itu, ia pun menyerunya.

"Woy!"

"Hah? Ampun Yah ... Faza enggak nakal, hiks ... ampun." Faza langsung menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya tanpa melihat siapa orang yang ada di sampingnya tersebut. Membuat Teguh swmakin mendengkus sebal.

"Ayah Ayah! Gue masih kelas tiga SMA, ya kali gue punya anak segede lo!" ketusnya, tetapu tak ada sahutan dari Faza

"Ck, jangan bilang lo malah tidur. Heh!" Tak sengaja Teguh mendorong pelan bahu anak itu. Namun siapa sangka kalau ternyata tubuh Faza oleng dan jatuh ke paha Teguh.

"Heh! Bangun lo!" serunya sambil menekan-nekan lengan Faza yang sepertinya tidak memiliki kesadaran itu. Teguh tentu panik, ia takut terseret masalag orang lain.

"Yaelah, mimpi apa gue semalem malah di repotin anak orang," decaknya. Tapi kemudian ia mengamati wajah Faza dengan seksama.

"Heh anjir! Bukannya ini Adek si Ren? Akh, sial!" Ia hendak pergi agar tak terlibat dengan permasalahan orang lain, cukup temannya—Bima— saja yang boleh merepotkannya.

"Temennya di tolongin Dek, kasihan masa ditinggal," seloroh salah seorang ibu-ibu. Terlihat dari seragam yang dikenakannya, ibu itu mungkin seorang PNS. Langkah Teguh pun terhenti. Ia menoleh dan kembali menatap Faza yang malang. Ia pun tersenyum evil sebelum mengeluarkan ponselnya guna menghubungi seseorang.

"Bim, Adeknya si Ren ada sama gue. Sakit sih kayaknya, udah gitu pingsan lagi di bus. Ck, nyusahin!"

"..."

Baskara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang