Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Bima sadar, sejak Jay dan Teguh mengatakan bahwa tak seharusnya ia melampiaskan dendamnya pada Ren, Bima sedikit luluh. Ia bahkan lupa rencana awalnya untuk membalaskan dendam. Yang ia rasakan saat ini adalah, rasa cemas dan penasaran terhadap adik seibunya itu.
Seperti saat pulang sekolah kali ini, ia tahu perihal keadaan Ren yang belum ada kemajuan. Anak itu masih betah berbaring di rumah sakit. Namun, lihatlah Lidya saat ini, yang malah tertawa lebar sambil menonton televisi melihat acara komedi yang sepertinya lebih menarik dibandingkan kepulangannya.
"Tante enggak merasa bersalah?"
Lidya tertegun, ia mengecilkan volume televisi lalu berbalik dan menatap Bima dengan senyuman khasnya.
"Mama enggak sadar kamu udah pulang sayang, abis datengnya enggak ke–,"
"Mama macam apa yang terlihat baik-baik aja sementara anaknya hampir mati? Tante pikir aku enggak tahu? Tante cuma pura-pura enggak mengetahui kabar tentang Ren."
Lidya mematung, lidahnya terasa kaku saat Bima memotong ucapannya dengan suara dingin dan penuh penekanan di dalamnya.
Bima tersenyum miring. "Tante enggak pantes dipanggil mama. Dari awal aku enggak salah, 'kan?" Ia pun meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya. Sedangkan Lidya memalingkan wajahnya dengan mata yang berkaca-kaca. Ia pikir, tak ada yang mengetahui percakapannya semalam dengan Dewangga saat mantan suaminya itu menelpon mengabarinya perihal kondisi Ren untuk yang kesekian kalinya.
Lidya menyesal karena ia ceroboh sehingga sekarang Bima pasti akan semakin membencinya. Entah apa yang Lidya pikirkan hingga yang ada dalam otaknya hanyalah Bima seolah Ren tak pernah benar-benar hadur dalam hidupnya.
"Bima."
Anak itu berhenti melangkah di dua anak tangga terakhir.
"Nanti kita jenguk Adik kamu, gimana?"
Tanpa membalikkan badan, Bima hanya menghela napas. "Kalau berat, enggak usah sekalian. Ren udah punya ibu yang jauh lebih menyayangi dia dari pada Tante," sarkasnya, kemudian melanjutkan langkahnya menuju kamar meninggalkan sesak bagi Lidya yang kini semakin tertunduk dengan isakan halus.
Mereka tak sadar kalau Bagas sudah berada di sana sejak beberapa saat yang lalu. Ia yang tak menyukai sikap sang anak pun langsung menghampiri anak itu ke kamarnya. Lidya yang melihatnya pun menjadi khawatir suaminya akan berbuat kasar pada sang anak. Lidya ikut menghampiri guna melerai keduanya.
Pintu terbuka secara kasar, Bima yang sedang berbaring di kasurnya pun langsung bangun dan berdiri menatap kedatangan Bagas.
"Berapa kali Papa bilang supaya kamu bersikap sopan sama Mama kamu Bima?! Dia ini Ibu kamu! Ibu yang melahirkan kamu ke dunia!" Bagas bahkan mencengkram kerah seragam yang masih Bima kenakan.
Bima mendengkus kesal. Ia lelah dengan sikap Bagas yang tak pernah mengajarkannya arti kasih sayang yang sesungguhnya. Maka, jangan salahkan ia yang sekarang tumbuh menjadi anak yang pembangkang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara✔
FanfictionRenjana Lazuardi, si kesayangan Papa Dewangga, si penebar keceriaan, si pelipur lara, dan si luka tak kasat mata.