Rintik hujan masih menghiasi kota Jakarta sore itu. Kendati hanya gerimis saja, tetapi mampu membuat suasana kota metropolitan itu jadi sendu. Seperti Dewangga yang merasa pertemuan ini tak lazim untuk seorang laki-laki dan perempuan yang sudah saling berkeluarga. Tapi ia terpaksa walau hatinya sudah merasa tak nyaman sejak beberapa menit yang lalu mereka memulai pembicaraan sepihak. Karena hanya Dewangga yang mengatakan beberapa hal sementara wanita itu hanya mendengarkan, yang entah memahami atau tidak isi pembicaraan tersebut."Jadi bagaimana Lidya?"
Lidya hanya menatapnya sekilas lalu mengalihkan kembali pandangannya pada cangkir miliknya.
"Maaf Mas, aku sudah bilang 'kan kalau aku sedang ingin fokus sama Mas Bagas dan juga Bima. Apa enggak cukup perhatian aku selama sepuluh tahun bersama Ren? Bima bahkan belum tersentuh sedikit pun. Aku baru saja bertemu denganya beberapa bulan yang lalu. Apa kamu ngerti perasaan aku sebagai seorang ibu?" Lidya sampai berkaca-kaca saat mengutarakan jawabannya.
"Justru karena aku sadar bahwa kamu sorang Ibu, aku pikir kamu akan lebih peka sama situasi. Ren membutuhkan kamu sebentar saja. Dia sedang kritis Lidya, apa kamu tidak terluka mendengar kabar putramu ini, hah?"
Lidya menangis, entah apa yang dia pikirkan. Bahkan orang-orang di sekitar sana pun memperhatikan keduanya. Dewangga mendengkus, merasa tak enak tentunya. Seolah ia baru saja menyakiti wanita tersebut. Ia pun menepuk pundak Lidya pelan. "Maaf kalau ucapan aku ada yang salah."
Kemudian, Dewangga mengalihkan pandangan ke arah saku celanya di mana ponselnya yang terasa bergetar diiringi dering panjang yang cukup mengganggu. Ia pun mengambil benda persegi panjang tersebut, lalu menggser ikon hijau di layarnya.
Dangan cemas ia menyapa si penelpon, takut ada sesuatu yang genting. "Assalamualakum Ma, ada apa? Ren enggak apa-apa 'kan?"
Lidya menatapnya—sosok Dewangga yang lembut ternyata tidak berubah sama sekali. Ia tersenyum miris. Dulu mereka tidak saling mencintai, tetapi karena Dewangga adalah seorang anak yang patuh terhadap orang tua, ia bisa menerima Lidya dengan sepenuh hati bahkan memperlakukannya dengan baik. Sekilas ada rasa cemburu saat melihat cara berbicara Dewangga pada istri barunya itu.
"Serius Ren udah siuman? ... alhamdulilah, ya udah Papa pulang sekarang ya, assalamualikum." Tanpa banyak bicara lagi, Dewangga segera bergegas untuk meninggalkan Lidya. "Ren sudah bangun, sepertinya dia sudah tidak membutuhkan lagi Ibu semacam kamu, maaf mengganggu waktumu, permisi," pamitnya sesaat sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Lidya bersama sesak di dada. Ucapan Dewangga benar-benar menusuk relung hatinya yang paling dalam. Karena walau bagaimana pun juga dia tetaplah seorang ibu yang mempertaruhkan nyawa untuk kelahiran Ren.
☆☆☆
"Bisa 'kan enggak bikin orang-orang panik? Tahu enggak, waktu kamu kritis, Papa kamu udah kayak orang gila. Om 'kan udah bilang, kalau kerasa sakit langsung bilang, jangan dipendem. Terus makan jangan sembarangan, obat enggak boleh sampai telat, jangan kecapekan, kalau bisa ya sekolah di rumah aja sambil rebahan. Haduh kamu nih enggak pernah dengerin apa kata Om sih, pusing saya."
Ren tak memedulikan omelan dokter tersebut, ia hanya memutar bola matanya malas kemudian terbesit dalam benaknya untuk menjahili sang dokter.
"Om, masih betah menduda juga?"
Dokter bernametag Azka itu membulatkan mata. "Terakhir sebulan yang lalu kamu nanya itu, kenapa sih kamu tanya itu terus Ren?" kesalnya. Karena sudah bisa dipastikan kalau pertanyaan itu hanyalah sebuah pengalihan topik belaka.
"Penasaran aja. Tapi sekarang aku sadar Om, siapa juga sih yang mau nikah sama Om? Udah tua cerewet lagi."
Dokter Azka yang saat itu sedang melepas beberapa kabel yang terpasang di tubuh Ren, semakin melototkan matanya. Sementara suster hanya menggelengkan kepala pelan sambil mengancingkan piyama anak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara✔
FanfictionRenjana Lazuardi, si kesayangan Papa Dewangga, si penebar keceriaan, si pelipur lara, dan si luka tak kasat mata.