Teguh melihat ke arah nakas dimana ponselnya yang terus menampilkan panggilan dari Lidya. Sudah beberapa hari ini ia di teror oleh ibu dari sahabatnya tersebut.
"Angkat enggak tuh?" tanyanya seraya mengeringkan rambut dengan handuk. Hari itu masih pagi dan Teguh baru saja selesai mandi untuk bersiap pergi ke sekolah. Sementara Bima hanya bermalas-malasan di kasur.
"Jangan," jawab Bima singkat. Ia tidak ke sekolah selama berhari-hari. Pekerjaannya hanya tidur bahkan makan pun tidak kalau Teguh tak memaksanya. Ia belum bercerita apapun sejak dua hari yang lalu kedatangannya ke rumah Teguh. Teguh sendiri belum berani bertanya perihal masalahnya. Bima hanya berpesan agar Teguh mengatakan bahwa ia baik-baik saja jika seseorang bertanya tentangnya. Brian bilang kalau Bima mungkin butuh waktu untuk sendiri. Karena itu kakak beradik itu hanya mengikuti alur saja. Bagaiaman pun juga, mereka tidak berhak atas privasi anak itu.
"Mandi sana! Abis itu makan, Bang Brian udah beli nasi uduk, sayang kalo enggak dimakan."
Bima bangkit dari rebahannya lalu duduk dan menatap Teguh. "Lo berdua udah baikan? Kok gue baru ngeh sih? Sejak kapan?"
Teguh mengendikkan bahunya. "Udah dari kemaren-kemaren makanya lo jangan molor mulu, sekolah lo tinggalin, semuanya lo tinggalin, kalau waktu itu gue enggak nemuin lo, udah jadi gembel lo sekarang."
"Ck, lagian kenapa enggak lo biarin gue mati aja sih?"
"Terus lo mau catet sejarah sebagai orang terbego karena mati gara-gara overdosis alkohol? Lagian gue malu juga kalau punya temen mati cuma karena mabok, gila aja."
Bima terdiam sejenak, kemudian bangkit lalu mengambil handuk yang masih bertengger di pundak Teguh dan berlalu ke kamar mandi— menyisakan Teguh sendiri yang hanya bisa menggelengkan kepala.
☆☆☆
Malam ini Ren terlihat sangat sibuk, katanya ia sedang menyalin catatan selama satu minggu ketika ia sakit kemarin. Tapi itu hanya alibi saja agar keluarganya tak ada yang mengganggu kegiatannya. Nyatanya, setelah makan malam ia pamit ke kamar bukan untuk menyalin atau mempelajari materi yang tertinggal. Melainkan untuk melihat rekaman video dirinya bersama Rusdian, ia ingin segera memperlihatkan rekaman itu pada keluarganya. Namun ada beberapa yang harus ia edit terlebih dahulu agar video itu menjadi sedikit lebih pantas untuk dipertontonkan di hadapan mereka, terlebih ibu dan kedua saudara tirinya. Tak sepenuhnya alasan sebetulnya, karena setelah mengedit sedikit-sedikit ia akan melanjutkan ketertinggalannya dalam hal mempelajari pelajaran—mengingat ini adalah semester akhir di kelas XI. Tentunya ia tidak ingin lengser dari pringkat sebelumnya. Meski hanya peringkat tiga setelah Jake dan Layla, tetapi Ren patut mempertahankannya, bukan?
Masih ada sekitar dua hari lagi sebelum keberangkatan Rusdian ke Yogya. Sebelum itu terjadi, Ren berharap bahwa mereka bisa bertemu dan saling mendamaikan hati masing-masing agar semua beban itu perlahan dapat memudar. Membayangkan moment tersebut, Ren sampai mengulum senyum berkali-kali. Anak itu tampak begitu bersemangat sampai lupa kalau malam itu jam sudah menunjukkan angka 12.
Ren menghela napas lelah sambil membereskan semua alat tulis lalu mematikan komputer.
"Gue harap ini berhasil," gumamnya seraya menatap lekat flashdisknya lalu menyimpannya di laci.
Ren membaringkan tubuhnya setelah membersihnan wajah dan meminum obat. Sebenarnya ia belum merasakan kantuk. Entahlah, tetapi akhir-akhir ini kualitas tidurnya bisa dikatakan cukup buruk. Ren rindu sang ibu. Sudah beberapa tahun terakhir ini ia belum juga bertemu dengan wanita tersayangnya itu.
Bima, anak itu pun rasanya tak bisa ia harapkan mengingat sudah hampir satu bulan lamanya ia dekat dengan Bima namun sampai detik ini masih belum ada tanda-tanda kalau Bima mau mempertemukan mereka berdua. Alih-alih mengajaknya ke rumah, Bima justru menghilang entah kemana. Tepatnya sejak ia jatuh sakit beberapa waktu lalu, dan hingga kini ia belum mendapat kabar apapun darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara✔
FanfictionRenjana Lazuardi, si kesayangan Papa Dewangga, si penebar keceriaan, si pelipur lara, dan si luka tak kasat mata.