Sandra mengantar suami serta anak-anaknya menuju garasi. Mereka akan pergi menunaikan kewajibannya masing-masing. Seperti Dewangga yang akan ke kantor serta Gian, Ren, dan juga Faza yang akan ke sekolah.
"Hati-hati di jalannya ya, jangan ngebut-ngebut."
"Iya Ma, Papa tahu itu." Dewangga tersenyum, hangat sekali. Ren hanya memutar bola matanya malas. Papa sok manis kalau di depan mereka. Sementara di depan Ren, Papa selalu menyebalkan, batinnya.
"Yaiyalah tahu, ya kali lupa. Papa udah tua masa masih harus diingetin juga."
"Tua juga masih ganteng, Ren. Jangan sembarangan kamu kalau bicara."
"Dih, apa urusannya coba. Ngaco nih Papa, kebiasaan kalau dikatain tua suka ngelak."
Dewangga melototkan matanya, dasar mulut Ren. Faza dan Sandra hanya tertawa kecil, tapi Gian terlihat mati kebosanan menunggu drama keluarga ini selesai. Rasa rasanya, nuansa ini tidak cocok dengan dirinya yang terbiasa hidup dalam keheningan. Maksudnya, Gian tidak suka berisik.
"Kalau masih lama aku naik angkot aja," sahut Gian dengan kaki yang hendak melangkah pergi. Namun, tiba-tiba Ren merangkulnya. "Sabar sedikit kenapa sih, Bang? Buru-buru amat kayak kebelet pipis aja lo."
Gian menatap Ren tajam kemudian melepaskan kasar tangan Ren yang masih merangkulnya. Hey, memangnya sejak kapan mereka seakrab itu, sampai main rangkul-rangkulan. Gian tentu saja kesal.
"Giaan," tutur Sandra lembut atau lebih ke hati-hati supaya tidak menyinggung perasaan putra sulungnya.
"Ish marah-marah mulu lo jadi remaja, heran gue. Kenapa sih? Gue ada salah apa? Diskusi yok?"
"Salah lo, terlalu banyak bacot!" Gian tak peduli jika Dewangga merasa tak nyaman atas sikapnya ini. Lagi pula, semua salah Ren sebab menganggu ketenangannya.
Sandra menghela napas berat. "Maafin Gian ya Ren," ucap Sandra tak enak.
"Gak apa-apa Ma, udah enggak perlu minta minta maaf segalalah, Ren ini kok yang salah udah tahu Abangnya enggak suka berisik," ujar Dewangga santai tapi tegas membuat Ren melototkan matanya tak percaya. Sabar, kata Pak Ustad Ren harus sabar. Walau sejelek apapun sikapnya, Dewangga tetaplah Papanya. Kalau tidak ada Papa, tidak akan ada Ren.
"Adek naik! Bang naik Bang! Di sini lama-lama enggak baik buat kesehatan jiwa. Yang ada aku nambah dosa deket-deket sama Papa."
"Kamu ngomong kayak gitu aja udah dosa Ren." Dewangga berujar dengan santai.
Ren memutar bola matanya malas. Tanpa berkata apa pun lagi, ia segera memasuki mobil dan menutup pintunya secara kasar.
"Ma, Pa, kita berangkat ya," pamit Faza sambil menyalami Dewangga dan Sandra. Begitu juga Gian. Kedua orang tua itu tersenyum sambil mengusap punggung keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara✔
أدب الهواةRenjana Lazuardi, si kesayangan Papa Dewangga, si penebar keceriaan, si pelipur lara, dan si luka tak kasat mata.