Semilir angin pagi yang sejuk menyapa kulit seputih susu milik Ren. Anak itu berjalan sambil memeluk badannya sendiri karena kedinginan. Ia berjalan pelan di belakang Gian dan Faza yang tampak asyik bercengkrama. Sebenarnya mereka bersama supir, tapi karena mobilnya mogok jadilah sang supir mengurus mobil dulu dan mereka bertiga memilih untuk berjalan-jalan di sekitar sana sekalian olahraga walau hanya jalan santai. Suasana masih sepi karena matahari pun masih malu-malu menampakkan sinarnya.
"Bang, Faza lihat kulkas kosong. Kayanya Mama lupa belanja deh, gimana kalau kita bantu mama belanja?"
"Belanja kemana?" tanya Ren menyahuti dengan mata menyipit karena sebenarnya ia masih mengantuk. Tapi karena Gian dan Faza sedang ingin jalan-jalan pagi makanya ia ikut saja, dari pada sendirian di rumah lebih tidak menyenangkan karena Sandra dan Dewangga sedang berkunjung ke rumah teman lama mereka yang baru tiba di tanah air setelah pulang umrah. Karena lokasinya di Bandung, mereka pergi setelah solat subuh.
"Kalau beli sayuran sama buah yang seger ya, ke pasar tradisonal. Lagian supermarket mana ada yang buka jam segini," ujar Gian.
"Terus kita naik apa?" tanya Ren malas, pasalnya ia tidak suka pasar tradisional yang becek dan bau. Belum lagi keramaian di pasar tradisional bisa membuat telinganya berdenging. Kalau dia pingsan siapa yang akan bertanggung jawab?
"Kalian aja deh, gue males. Becek, bau ikan, bau keringet, bau mulut, banyak deh pokoknya gue males." Ren mendudukkan diri di bangku taman.
"Terus lo mau di sini sendirian?" Gian melihatnya dengan tatapan tajam. Kedua tangannya terlipat di dada. Merasa kesal karena Ren terlalu manja.
"Enggaklah, gue nunggu bareng Pak Makmur aja." Pak Makmur merupakan supir baru yang dipekerjakan Dewangga untuk mereka.
"Ck, yaudahlah terserah." Gian pun menarik Faza agar segera meninggalkan Ren. Jarak pasar tradisional tidak begitu jauh dari sana sehingga bisa di tempuh hanya dengan jalan kaki saja.
Ren terdiam sejenak. "Kalau mereka ketemu Papanya gimana? A!s." Ren berdecak kesal kemudian pergi menyusul mereka berdua.
☆☆☆
Semua orang menatap ketiga remaja itu tak biasa. Di mulai dari Ibu-Ibu, Bapak-Bapak, Mas-Mas, Mbak-Mbak, sampai anak kecil pun terpesona pada paras mereka yang tampan dan masih muda—yang mau-mau saja berbelanja ke tempat seperti itu.
"Bang, saya mau bawang merah. Tapi bawang merah yang mana sih?" tanya Ren. Maklum sih, dia tak pernah memasak. Makanya tidak bisa membedakan rempah-rempah.
"Itu yang di depan Dek."
"Oh ini bawang merah? Tapi ini warnanya ungu, kenapa disebut bawang merah coba? Harusnya bawang ungu dong, buta warna nih yang ngasih nama. Lain kali kalau mau namain bawang lagi ajak saya Bang biar enggak salah kayak gini, kan malu kalau ad orang luar belanja ke sini, nanti dikira bodoh," celetuknya tanpa dosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara✔
FanfictionRenjana Lazuardi, si kesayangan Papa Dewangga, si penebar keceriaan, si pelipur lara, dan si luka tak kasat mata.