Baskara - 05

8.4K 902 79
                                    

Hening yang menyelimuti perjalanan Bima sedari tadi nyatanya sampai terbawa ke rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hening yang menyelimuti perjalanan Bima sedari tadi nyatanya sampai terbawa ke rumah. Memang selalu seperti itu sejak setahun terakhir, rumahnya selalu sepi bagai tak berpenghuni. Bima sudah terbiasa dengan itu walau sesekali ia akan merasa marah hingga menangis sendirian di dalam kamarnya. Seperti malam ini. Bagas sang ayah lagi-lagi tidak ada di rumah melihat garasi yang kosong. Bima memarkirkan motornya di sana.

Tak lama mobil Bagas pun tiba, sorot lampunya bahkan sangat menyilaukan mata Bima, ia pun menghalau cahaya mobil tersebut dengan tangannya. Bagas turun dari mobil bersama seorang wanita seusianya. Keduanya tersenyum ke arah Bima sambil mendekat. Tak ingin terlibat interaksi, Bima pun segera melangkahkan kakinya menuju pintu utama, tetapi sebelum ia benar-benar masuk, suara wanita itu menghentikannya.

"Bima sayang kenapa kamu pulang malem, Nak?" tanyanya lembut.

Bima berdecih pelan. "Emang kenapa kalau gue pulang malem? Masalah?" tanyanya setelah berbalik untuk melihat kedua orang tersebut.

Tertohok, itulah yang Lidya—wanita tersebut— rasakan. Memang, wanita itu adalah Lidya Anindita yang merupakan ibu kandung Ren yang kini menjadi istri sahnya Bagas.

"Jaga ucapan kamu, Bima. Dia ini Mama kamu!"

Bima tersenyum remeh. "Mamaku udah meninggal setahun lalu, kalian sendiri penyebabnya," ucapnya sinis kemudian memasuki rumah dengan tatapan marah dan kedua tangan terkepal.

"Lo enggak tahu rasa sakit yang gue rasain Ren, semua gara-gara nyokap lo dan lo harus ngerasain apa yang gue rasain juga. Atau mungkin lebih." Bima membatin, ia sudah menancapkan niat untuk membalaskan dedamnya pada Ren.

☆☆☆

Faza hanya diam memandang langit malam dari jendela kamar sambil melamun.

"Kamu enggak diapa-apain 'kan sama temen kelas kamu?" tanya Gian yang tak suka melihat adiknya melamun.

"Em ... enggak Bang, emangnya kenapa?"

"Kalau gitu kamu ngelamunin apa?"

"Kak Ren."

Gian memutar bola matanya malas. "Ngapain mikirin dia? Abang kira hidupnya udah baik. Dianya aja yang lebay, apa lagi yang harus dipikirin?"

"Itu kan perkiraan Abang. Faza sih enggak yakin, kayaknya ada sesuatu yang dia sembunyiin sama kita."

"Biarin aja, nanti juga lama kelamaan semuanya akan ketahuan. Termasuk kondisi mental Abang juga."

"Faza udah kasih tahu Kak Ren soal keluarga kita dulu, keadaan Abang juga, maaf." Faza menundukkan pandangannya, ia takut akan reaksi Gian.

Gian sendiri hanya menatap Faza, ia agak kecewa karena Faza jujur terlalu awal. Ia pun tak lagi menyahuti dan fokus pada beberapa buku yang harus ia siapkan untuk besok. Faza melihatnya. "Bang kenapa enggak pinjem catatannya Kak Ren? Atau mau Faza yang pinjemin?"

Baskara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang