Pekatnya langit malam itu seolah sedang menggambarkan suasana hati keluarga satu ini. Mereka berempat—Dewangga, Sandra, Gian, dan Faza—sedang harap-harap cemas menunggu satu nyawa yang sedang berjuang di dalam ruangan mengerikan itu–ruang operasi.
Awalnya Faza dan Gian merasa biasa saja. Pagi tadi mereka hanya memakan sarapannya seperti biasa walau berdua saja. Hingga Dewangga turun bersama Ren yang ada dipangkuannya dalam keadaan tidak baik. Bibirnya pucat, serta terpasang selang—oksigen portable— yang melintang di bawah hidungnya. Keduanya ikut merasa panik apalagi melihat Sandra yang kalang kabut menelpon ambulans.
Pagi itu semua ikut ke rumah sakit, Faza dan Gian tidak jadi ke sekolah begitu pula dengan Sandra yang tidak jadi berangkat ke Bogor. Semua fokus pada Ren, karena tiba-tiba dia mengalami aritmia yang membuat semua orang panik. Setelah Ren ditangani di UGD, dokter menyarankan agar dia segera menjalani operasi akibat penyempitan di jantungnya. Mau tidak mau Dewangga pun menyetujuinya.
Baik Sandra maupun kedua putranya belum ada yang berani mempertanyakan perihal kondisi Ren. Meski mereka penasaran namun mereka mencoba menahannya karena paham akan suasana hati Dewangga saat ini.
"Kalian mending pulang aja, kasihan Faza udah ngantuk kayaknya," ujar Dewangga memecah keheningan. Wajar saja, ini sudah hampir jam sebelas malam bahkan Jay dan Jake yang semula ada di sana pun turut ia suruh pulang ketika jarum pendek menujuk angka sembilan, tadi.
Faza menggelengkan kepalanya cepat. "Faza emang ngantuk Pa, tapi Faza enggak akan bisa tenang sebelum tahu kalau Kak Ren baik-baik aja atau malah sebaliknya."
Dewangga mengulas senyum tipisnya, ia berdiri kemudian duduk di antara Faza dan Gian seraya mengusap kepala keduanya. "Perlu kalian ketahui, bahwa Ren enggak pernah baik-baik aja. Dulu Mamanya selalu berusaha gugurin dia tapi gagal terus, sampai akhirnya dia lahir tapi dalam keadaan sakit. Jantungnya enggak sehat, dan sampai sekarang pun masih sama, atau bahkan semakin parah. Jujur saja, ini operasi yang ketiga kalinya buat dia. Papa tentu takut sekali, takut dia menyerah lebih awal. Papa enggak siap kehilangan Ren. Papa akui dia berisik, nyebelin, dan kadang enggak sopan. Tapi Papa tahu, semua itu dia lakuin hanya untuk menutupi lukanya saja."
Hening kembali mengambil alih suasana. Dewangga dengan tatapan kosongnya hanya busa menatap langit-langit tampat itu. Sandra bahkan sudah berkaca-kaca, ia tak habis pikir, bagaimana bisa Ren terlihat biasa saja disaat hidupnya sepelik itu. Kemudian Faza dan Gian terdiam—sama-sama larut dalam pemikirannya masing-masing.
Dewangga menegakkan tubuhnya, menghela napas berat kemudian menyahut lagi, guna memecah keheningan. "Setelah ini Papa harap kalian bisa akur layaknya saudara kandung ya, saling menjaga dan menyayangi satu sama lain. Kalau tidak keberatan, Papa titip Ren selagi Papa enggak ada."
Faza mengangguk patuh, dan untuk pertama kalinya Gian mengangguk sebagai pertanda bahwa ia menerima permintaan Dewangga tersebut.
☆☆☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara✔
FanfictionRenjana Lazuardi, si kesayangan Papa Dewangga, si penebar keceriaan, si pelipur lara, dan si luka tak kasat mata.