Sandra meremat tali tas yang ia kenakan. Perasaannya tidak karuan setelah ia bersitatap dengan sosok yang sangat ia hindari beberapa tahun ini. Pertanyaan demi pertanyaan mulai menyeruak memenuhi pikirannya. Ia menatap keluar kaca, wajahnya sarat akan kekhawatiran yang membuat sang supir taksi merasa ikut khawatir terhadap wanita tersebut.
"Jadi kita ke mana Bu?"
Sandra terlepas dari lamunannya. Iya, dia sadar bahwa sedari tadi ia hanya berpikir untuk menghindar tanpa arah tujuan yang jelas kemana ia akan melangkah pergi. Niatnya ingin mengunjungi sang suami di kantor untuk memberikan bekal makan siang, namun sepertinya semesta sedang tidak berpihak padanya. Di tengah jalan ketika ia mampir untuk membeli jeruk, ia harus bertemu dengan mantan suaminya. Hal itu sontak membuat ia ketakutan dan pergi begitu saja hingga ia melupakan jeruk yang ia beli tadi.
"Ke perumahan Pondok Indah, no. 55 saja Pak, maaf."
"Baik Bu."
Taksi pun melaju ke arah rumah Dewangga, sepertinya Sandra harus mengatakan ini pada suaminya sebelum sesuatu yang buruk terjadi pada putra-putranya.
☆☆☆
Dewangga menatap Sandra yang masih diam membisu. Setelah selesai makan malam barusan, Sandra buru-buru ke kamarnya dan mengajak Dewangga untuk berbicara empat mata.
"Kalau belum siap enggak usah dipaksa. Kapan aja Mama siap, Papa pasti dengerin kok, Ma," ucapnya lembut.
"Pa, Rusdian ada di Jakarta. Gimana kalau anak-anak ketemu dia Pa? Mama enggak bisa bayangin emosinya Gian. Mama takut anak-anak–"
"Sstt, jangan berpikiran negatif dulu. Nanti Papa coba cari Rusdian dan bicara baik-baik sama dia. Dan mulai sekarang anak-anak mending di anter supir aja kalau ke mana-mana." Dewangga memeluk Sandra seraya mengusap kepala belakangnya dengan lembut. Sementara wanita itu hanya mengangguk perlahan.
☆☆☆
Teguh mendudukkan dirinya setelah lama berbaring di atas sofa. Ia menatap Bima yang hanya diam melamun sambil memutar-mutar handphone miliknya di atas meja. Teguh mendengkus sebal, untuk apa Bima menyuruhnya datang ke kosan kalau hanya untuk melihat anak itu melamun?
"Ck, gue lagi enak tidur bela-belain bangun buru-buru kesini buat lo, eh nyampe sini elo-nya malah diem! Kampret!"
Bima menghela napas lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.
"Gue kesel banget anjir. Niat gue tuh bikin Papa si Ren kecewa terus marah ke dia. Tapi apa? Yang gue liat enggak sesuai ekspektasi. Papanya malah bersikap manis banget sampe gue pengen muntah lihatnya. Shit! Apa gue cekokin dia aja kali ya,"
Teguh menggelengkan kepalanya. Setahunya, dulu Bima tidak begini. Dia anak yang baik walaupun tidak sebaik Ren. Ok, jadi sedikit banyak Teguh tahu tentang Ren dari Kakaknya—Brian yang selalu membandingkannya dengan anak itu. "Maksud lo jerumusin dia ke hal negatif tuh buat apa sih? Emang dia ada salah apa? Dia cuma adek tiri lo yang menurut gue gak ada hubungannya sama lo. Toh dia juga di tinggal ibunya, gue.. serius gue gak ngerti sama jalan pikiran lo. Gue bukannya belain dia, cuma gue enggak mau lo bertindak lebih jauh yang malah bikin lo makin sengsara nantinya. Jujur aja, kita temenan sama Juna aja udah jadi masalah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara✔
FanfictionRenjana Lazuardi, si kesayangan Papa Dewangga, si penebar keceriaan, si pelipur lara, dan si luka tak kasat mata.