BAB 19: OBSESI

24 4 1
                                    

Malam kembali menggelar pertunjukan. Gaun hitamnya jatuh menyapa tiap kerlip lampu kota yang bertabur anggun di tubuhnya. Terang purnama menyorot ke tengah panggung, bintang gemintang pun jatuh mengiringi tarian angin yang menusuk tubuh-tubuh terjaga. Sedang, ditepian panggung semesta, seorang gadis bermata nanar duduk diberanda sebuah lembaga belajar ternama. Tangannya meremas kasar selembar kertas yang dengan lancang berani mengangkai kemampuannya. Gadis itu sebenarnya diam, namun bibirnya diam-diam bergetar. Ada ketakutan luar biasa yang menggayun lembut disana. Tiga puluh menit lagi, tiga puluh menit lagi seburuk-buruknya dunia akan tersaji dihadapannya.

Dari kejauhan, seorang lelaki yang sedari tadi memutar kepala keseluruh ruangan demi memastikan keberadaannya pun bernafas lega. Syukur, ia telah diberikan kesempatan untuk memastikan kekhawatirannya. Lelaki itu pun menjalankan langkahnya lebih ringan. Tak lupa, sebuah senyum yang beberapa menit lalu sempat tanggal kembali ia lukiskan.

"Della." Panggilnya.

Gadis itu menoleh, mengulum senyumnya yang payah, "Hai, Jo."

Johan menatap wajahnya yang sayu, pikirannya melayang mencoba merapalkan kalimat-kalimat penghiburan.

"Iya bener, namaku nggak ada dilima –bahkan sepuluh besar nilai tryout terbaik. Waktu itu, aku lagi nggak enak badan, mual terus sepanjang simulasi. Tapi nggak masalah kok." Ujarnya sembari terus tersenyum, "By the way, selamat ya, Jo! Keren kamu bisa rangking dua dibimbel. Bentar lagi, kayaknya ada yang ngerebut gelar 'si nomor dua' ku disekolah nih!"

Lelaki yang diajak bicara itu terdiam, matanya masih sibuk meneliti sorot mata Della yang terus berpendar menyembunyikan luka.

Gadis itu menunjukkan lembar penilaiannya sekilas, "Tapi walaupun ngerjain sambil nahan sakit, nilaiku masih tergolong bagus kan? Rangking sebelas tergolong bagus kan? Nilai akhirku Cuma beda satu angka sama yang rangking sepuluh. Masih bagus kan?"

Johan mengangguk, mengamini perkataan Della, "Iya, Della."

"Ah, tapi nggak juga, Jo. Dulu, kakakku, Mas Abror pernah ngerjain ujian nasional SMP dalam keadaan demam tinggi. Tapi apa hasilnya? Mas Abror masuk SMA Favoritnya Malang, urutan ketiga pula. Seharusnya sakit itu nggak mempengaruhi apapun, Jo. Ya, kan? Usahaku aja yang kurang, Bener, kan?"

Bibir Della semakin bergetar hebat, ada tangis yang mati-matian ia sembunyikan, "Mas Abror aja bisa, kenapa aku nggak? Apa tiga jam tidurku itu terlalu berlebihan sampai hasilnya seburuk ini? Bener kata mama, mau usaha sebagaimanapun, aku nggak akan bisa nandingin Mas Abror. Aku tetap akan jadi si nomor dua. Ah, nggak, aku bahkan udah nggak layak dapat jurusan si-nomor dua."

"Emang bener kata mama, aku emang nggak bisa membanggakan orang tua. Aku emang pemalas dan selalu mencari alasan untuk tetap malas. Aku emang nggak akan bisa masuk kedokteran? Huh, jangankan kedokteran, dengan nilai kayak gini, lolos SBMPTN pun Cuma mimpi." Air mata gadis itu menetes lembut, "Aku memang tukang mempermalukan orang tua."

Johan menarik kasar lembar penilaian Della, "Sudah, jangan terus dilihat, lembaran ini bukan apa-apa. Berapapun nilai yang tercetak diatas kertas, bukanlah tolak ukur kesuksesanmu dimasa depan. Kamu bisa, Della! Pasti bisa, aku percaya sama kamu."

Tubuh Della merosot jatuh, disembunyikan wajahnya yang telah berurai airmata dibalik telapak tangannya, "Aku bodoh banget, Jo! aku bodoh banget!" umpatnya berulang.

Johan menatap nanar Della penuh iba, direngkuhnya bahu sang gadis kepelukan. Tanpa kata, jemarinya lembut mengusap puncak kepala Della. Ia terus diam, membiarkan Della menghabiskan isakan didadanya.

"Aku takut pulang, Jo." lirihnya.

Johan hanya memejamkan mata, tangannya menepuk lembut bahu sang gadis, "Kadang, apa yang kamu tangisi sekarang, adalah apa yang orang lain sebut dalam doa. Sudah Della, kamu sudah melakukan yang terbaik."

Mata Della mendadak membelalak terkejut, dilepaskannya kasar rengkuhan Johan dibahunya, "Apa? Yang terbaik?"

"Maksudku-"

"Apa yang terbaik, Jo? ini? hasil ini?" ujarnya sembari merebut kembali lembar penilaian di tangan Johan, "Jadi menurutmu ini usaha terbaikku?"

"Della, bukan gitu!"
"Bener, sih. Ini emang usahaku yang terbaik. Ini memang hasilku yang setimpal. Emang!" sentaknya, "Aku harus sadar posisi memang. Seberapa kuat usahaku, memang hanya seperti ini hasil yang layak aku terima. Harusnya aku sadar, aku bukan mas Abror. Apalagi Kinan."

"Kinan?" ulang Johan menahan geram. Akhir-akhir ini, Della terlalu banyak mengumpati Kinan dibalik kesalahan yang dibuatnya sendiri.

"Iya, Kinan!" ujarnya menggebu, "Aku sadar kenapa kamu sangat buruk dalam menghibur seseorang, itu karena kamu nggak pernah ngehibur Kinan buat hal-hal semacam ini kan? Gimana mau pernah, dia selalu mendapatkan apa yang ia mau. Perhatian guru, nilai terbaik, tawaran team lomba, bahkan dia sempat digadang nggantiin aku jadi sampul majalah sekolah. Kamu tau itu kan?"

Johan mengusap wajahnya kasar, "Kenapa jadi bahas Kinan, sih?" tanyanya.

"Kenapa? Kamu nggak suka kan kalau bahas Kinan? Kalau gitu, kenapa kamu selalu sok baik sama aku? Kenapa kamu kesini? Aku gak butuh, Jo! aku gak butuh dihibur orang-orangnya Kinan. Aku gak perlu kamu!" ujarnya sembari mendorong dada Johan.

Lelaki itu menguatkan pijakan kakinya, tangannya cepat menggengam pergelangan Della, "Della!" sentaknya.

"Apa!"

"Kamu kenapa sih? Aku memang berteman baik sama Kinan, tapi itu bukan berarti kamu bukan temanku."

"Aku muak sama ini semua. Aku muak sama kamu yang sok tau tentang hidupku padahal kamu ada dipihak Kinan! kamu nggak pernah benar-benar dukung aku!"

"Della, aku-"

"Yang kamu pedulikan Cuma Kinan, semua orang Cuma melihat Kinan, dan menjadikan dia ukur keberhasilan! Aku muak!" seru Della, "Dirumah nanti, semua orang akan sibuk membandingkan aku dengan anak yatim itu! Mereka akan bilang Cuma Kinan yang berhak mendapatkan apa yang aku punya! Aku benci!"

Dengan cepat, Johan menarik lengan Della dan membawa kepelukannya. Didekapnya hangat gadis yang terus merapalkan cacian pada dunia itu, "Della." Panggil Johan lirih mencoba menenangkan, "Kinan bukan perempuan sesempurna yang kamu bayangkan, dan kamu juga bukan perempuan segagal yang kamu katakan. Lagi pula, apa hebatnya dari sebuah kesempurnaan? Tidak ada. Orang-orang sempurna justru akan kesepian karena mampu melakukan semuanya sendiri."

"Jangan menghiburku, Johan! Aku nggak butuh." Ujarnya, sembari terus meronta mencoba melepaskan diri dari pelukan Johan, "Pergilah, bukankah setiap malam kamu selalu menemui Kinan untuk sekadar makan malam? Jangan menghiburku! Untuk apa? Aku hanyalah hiponim, kata khusus yang keberadaannya diwakilkan sang Hipernim. Dan Kinan, sahabatmu, gadismu, adalah Hipernim yang kubenci itu!"

"Tidak Della, Tidak! Berhentilah melabeli dirimu serendah itu!" lanjutnya tanpa menggubris perkataan sang gadis dipelukan, "Hidup bukan kompetisi, semua orang punya waktunya sendiri. Jangan terlalu memaksakan diri, kamu juga berhak bahagia. Cari bahagiamu, Della. Jangan seperti ini!"

Della terus terisak dipelukan Johan, sementara sejak lima menit lalu mobil SUV merah telah berhenti didepan gerbang mengamati tangisannya. Namun, perempuan berbibir merah dibalik kendali kemudi itu hanya diam menatap sejurus. Mata dingin tak berperasaannya segera mengetahui apa yang membuat bungsunya kesusahan berkonsentrasi belakangan ini. Sejurus kemudian, perempuan itu menyalakan ponsel yang bertengger dingin di pangkuannya, satu panggilan pun segera melayang.

"Halo, Pa? Sepertinya Della butuh tempat bimbel tambahan. Nanti kita bicarakan rincinya dirumah. Malam ini, akan menjadi malam yang panjang."

Ketika Semesta Sedang BercandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang