BAB 37: KETIKA LEO MENGAKU KALAH

14 3 0
                                    

Dari halaman belakang, suara aduan linggis (pahat) dan batu gunung semerbak memenuhi ruangan. Seorang lelaki bercelana pendek yang keringatnya sama sekali belum terseka itu urung menghentikan pekerjaannya meskipun pada jam istirahat. Baginya, target tetaplah target. Lagipula, ia juga lelah mendengarkan omelan sang mandor apabila pekerjaan hari ini masih seberantakan kemarin.

"Mas Leo!" seorang lelaki jakung berlarian kecil menghampirinya. Leo menoleh, memperhatikan siapa yang datang. Ia tersenyum kecil, si R.

"Makan siangnya ditunda lima menitan." kabarnya. Matanya jatuh pada batu kasar ditangan Leo, "Udah mas, laut (istirahat). Dilanjut nanti aja. Nyebat-nyebat dulu kita."

"Pale lu nyebat. Nggak ada!" Sergah Leo sembari menepuk-nepuk kedua telapak tangannya, membersihkan debu.

"Pelit amat, sebatang doang."

"Nggak! Mau digampar cobek sama Pak Nur?"

"Bapak mah nggak mungkin nggampar, paling Cuma dikubur. Hahaha." Candanya.

"Masih banyak yang dimasak ibu?" tanya Leo, "Mending kedapur bantuin."

R menggeleng, "Udah selesai sebenernya. Tapi nunggu Kinan dateng dulu." terangnya, "Tapi udah deket kok katanya."

"Kinan?" ulangnya yang disambut anggukan cepat dari R. "Sama siapa? Johan?"

R menggeleng, "Sama Alan, murid barunya bapak."

Mendengar jawaban itu mata Leo segera menatap R sungguh-sungguh, memastikan lelaki yang lebih muda satu tahun dibawahnya itu sedang tidak bercanda. Lantas matanya berpindah cepat pada pakaian yang ia kenakan dan batu kasar yang masih tergeletak dibawah sana. Alan? –gumamnya dalam hati.

"Santai mas, bapak nggak mungkin bilang." Ujar R setelah berhasil membaca pikiran Leo lewat sorot matanya, "Apa mau ganti baju dulu?"

Leo menggeleng cepat, untuk apa?

R tersenyum tipis, "Si Alan itu yang gelut sama mas?" ujarnya sembari berjongkok ditepian tembok, "Aku diceritain Bapak."

"Hm." Jawab Leo pendek.

"Resek anaknya, mas?"

"Sok jago."

R manggut-manggut, "Dia deket sama Kinan?"

Leo menjeda sejenak jawabannya, "Kenapa?" tanyanya.

Lelaki itu mengedik cepat, "Nanya aja."

"Mungkin." Jawab Leo, "Mereka sering barengan akhir-akhir ini. Tapi kan, Kinan emang gitu anaknya. Siapa aja ditemenin. Mau se problematic apapun."

"Aku kira mas nggak peduli sama sekitar, ternyata tau juga Kinan anaknya kayak mana." R tersenyum tipis, "Tapi, asal si Alan-Alan itu baik sama Kinan, nggak masalah sih dia mau seresek apapun." Simpulnya.

Mata Leo menatapnya selidik, "L-Lo suka sama Kinan, R?"

Belum sempat R menjawab pertanyaan Leo, derit tarikan pintu pagar besi menginterupsi. Lelaki itu menoleh, menelisik lewat sela-sela jendela penghubung halaman belakang dengan ruang tengah. Matanya tak sengaja bertemu dengan rambut panjang yang jatuh sempurna ketika menjabat tangan sang ayah diambang pintu.

R mendadak berdiri, menoleh sekilas kearah Leo, "Kinan dateng, kalau mau ganti baju ambil aja dikamar." Ujarnya cepat, lantas buru-buru pergi.

"Nan!" teriaknya.

Ketika Semesta Sedang BercandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang